Monday 1 March 2010

DINAMIKA KEISLAMAN MASYARAKAT MINANGKABAU DI PERTENGAHAN ABAD KE-19 2008 Januari 26

http://jumpayerri.wordpress.com/2008/01/26/dinamika-keislaman-masyarakat-minangkabau-di-pertengahan-abad-ke-19/


by yerri

studi atas kitab inilah sejarah ringkas syekh paseban assyattari rahimahullah

ta’ala anhu

Di dua tulisan saya sebelumnya, yang telah diterbitkan media ini, telah disampaikan secara singkat tetang riwayat hidup Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Ta’ala Anhu, seorang ulama dari golongan tua, yang berithikad kepada tarekat Syattariyyah, dan surau serta warisannya yang berharga yakni manuskrip. Dan, setelah dipertimbangkan, sangat pelit rasanya apabila saya tidak pula meyampaikan suatu pandangan ilmiah mengenai bangunan teks, serta kondisi kontekstual yang mempengaruhi teks kitab Inilah Sejarah Ringkas Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Ta’ala Anhu (SP).

Berbagai sumber menyebutkan, pada abad ke-12/13, agama Islam masuk ke Sumatra Barat, ialah Syekh Burhanuddin, atau Burhân Al-Dîn atau Tuanku Ulakan (w. 1056-1104/1646-1692), murid dari Syekh Abd. Al Ra’ûf Al-Sinkilî (w. 1024-1105/1615-1693), yang membawa dan mengembangkannya. Dimulai pertama kalai di seputar wilayah rantau Pariaman, kemudian meluas ke daerah lainnya di Sumatra Barat. Navis (1980), menyebutkan bahwa perkembangan agama Islam di Sumatra Barat, dari dari faham yang pertama hingga masuknya faham baru, berlangsung selama kurang lebih limapuluh tahun. Namun, apabila ditilik dari sumber-sumber lainnya, maka, jarak antara masa Syekh Burhân Al-Dîn dengan masuknya ideologi keislaman setelahnya yakni Naqsyabandiyyah, adalah berkisar 127 tahun (Fathurahman, 2003).

Di Aceh, Al-Sinkilî, dalam mengajarkan agama Islam, juga memeperkenalkan, menerapkan azas-azas dan aturan-aturan organisasi tarekat, yakni Syattariyyah. Di Sumatra Barat, oleh Burhân Al-Dîn aliran Syattariyah berkembang dengan pesat. Di tempat lainnya di Indonesia, walaupun agak lambat, tarekat ini juga diajarkan, kuat dugaan bahwa tarekat ini dibawa oleh murid-murid Al-Sinkilî yang lainnya, yang memang pada waktu itu tidak hanya memiliki seorang Burhân Al-Dîn. Azra (2004:256) mencatat bahwa sejak di Haramayn, Abd. Al Ra’ûf Al-Sinkilî, telah memiliki banyak murid. Murid-murid tersebut menyebar keseluruh pelosok bumi. Sayangnya, Azra tidak memiliki data pasti siapa murid-murid Al-Sinkilî di Haramayn tersebut. Di Indonesia, ia memiliki beberapa murid, seperti, Burhân Al-Dîn (Minangkabau), ‘Abd. Al-Muhyi (Jawa Barat), ‘Abd. Al-Mâlik b. Abd. Allâh (Semenanjung Malaya), dan yang paling terkenal yaitu, Dâwûd Al-Jâwî Al-Fansûrî b. ‘Islâmîl b. Agha Mushthafâ b. Agha ‘Alî Al-Rûmî (Aceh).

Perkembangan agama Islam yang cepat tersebut, tidak lain dikarenakan kandungan unsur-unsur animisme dan mistik dalam ajarannya. Yatim (2002:202) menyebutkan bahwa para sufi Timur Tengah mendapatkan kemudahan dalam menyebarkan agama Islam, karena adanya sinkronisasi antara kepercayaan Hindu yang dianut oleh penduduk pribumi dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh para sufi tersebut. Salah satu ajaran tasawuf yang kontroversial yakni martabat tujuh. Dalam ajaran martabat tujuh disebutkan bahwa yang dimaksud wujud itu hanya satu walau kelihatannya banyak. Wujud yang satu itu memiliki dua dimensi yakni, dimensi batin (isi) dan dimensi lahir (kulit). Semua benda yang tampak adalah manifestasi dari dimensi batin, yaitu wujud yang hakiki, Allah S.W.T. Wujud yang hakiki itu mempunyai tujuh martabat,
yakni
1). Ahadiyah, wujud hakiki Allah S.W.T.,
2). Wahdah, hakikat Muhammad,
3). Wahidiyah, hakikat Adam,
4). Alam Arwah, hakikat nyawa,
5). Alam Mitsal, hakikat segala bentuk,
6). Alam Ajsam, hakikat tubuh,
7). Alam Insan, hakikat manusia.

Kesemuanya bermuara pada yang satu, yakni Ahadiyah, Allah S.W.T. Akan tetapi, tidak banyak dari para pengikut Syattariyyah dapat memahami ajaran tersebut.

Bahkan, tak jarang banyak pengikut yang keliru menginterpretasikannya. Akibatnya, sering terjadi benturan konsep antar sesama pengikut. Fathurrahman (2002), mengatakan bahwa kesalahfahaman terhadap ajaran-ajaran tasawuf tersebut muncul dari bawah -orang awam- yang kesulitan memahami ajaran-ajaran tasawuf yang sangat filosofis, sehingga mereka menginterpretasikannya secara sederhana. Di kalangan para sufi sendiri, perbedaan interpretasi ajaran-ajaran tasawuf tersebut, diakui akan dapat mengganggu atau bahkan menyesatkan para murid. Azra (2004: 357), mengatakan bahwa para pengikut ajaran tasawuf itu membutuhkan waktu relatif lama untuk menguasai kemurnian ajaran tasawuf. Mereka dituntut untuk patuh secara penuh, lahir maupun batin, terhadap ajaran ortodoksi Islam, atau yang lebih tepat lagi kepada syari’at. Karena menurut para ulama tersebut, mustahil bagi para murid mencapai tujuan spritualnya tanpa mematuhi sepenuhnya doktrin ortodoks Islam. Akibatnya, para murid menjadi pasif karena mereka telah menarik diri (‘uzlah) dari masalah duniawi untuk menguasai ajaran tasawuf.

Akibat yang lebih buruk dari sikap pelarian diri (escapism) itu adalah kemunduran sosial ekonomi dan politik umat muslim. Secara religius, ajaran ini dituduh sebagai sumber bid’ah dan takhayyul atau khurâfât. Di dalam kitab SP, kontroversi mengenai ajaran tasawuf tersebut ditemukan di dalam teks di bagian perdebatan antara Syekh Paseban Angku Calau membahas faham martabat tujuh.

/… Maka pada suatu hari, pergilah Angku Paseban dengan tiga orang muridnya menemui Angku Calau di Muara Sijunjung. Tiba di Calau, waktu Maghrib telah masuk, maka beliau sembahyang saja di tepi air bersama murid yang bertiga itu. Sudah sembahyang Magrib, barulah beliau naik ke surau. Menjelang sampai di surau beliau berkata kepada murid yang bertiga itu. Kata beliau, “Di atas surau nanti, kita sama saja, tidak seperti guru dengan murid.” Pagi-pagi beresoknya, orang sama minum. Beliau Angku Paseban minum sama pula Angku Calau. Maka, bertanya Angku Calau, “Dari mana?” Dijawab oleh Angku Paseban, “Kami dari Lubuk Alung.” Setelah selesai minum, ber[ceramah]ceramahlah Angku Calau dengan Angku Paseban.//Akhirnya sampai ceramah itu kepada persolaan martabat tujuh. Maka dibahaslah oleh Angku Paseban, maka terjadilah kekandasan …/(Al-Khatib.2001:21-22).

Masuknya ideologi baru

Selanjutnya, di akhir abad ke-18 hingga berlanjut awal abad ke-19, dinamika keislaman masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat memasuki masa-masa yang sangat dinamis. Kelompok-kelompok Islam konservatif Syattarriyyah, memperoleh tantangan dari kelompok-kelompok Islam konservatif lainnya, yakni Naqsyabandiyyah. Fathurahman (2003) menyebutkan bahwa serangkaian ketegangan antara Syattariyyah dan Naqsyabandiyyah yang terjadi itu, tidak saja menyangkut persoalan perbedaan faham dan ajaran semata, melainkan diantara keduanya saling rebutan kehormatan dan pengikut. Syekh Jalaluddin, seorang ulama di Cangkiang misalnya, telah berhasil mendapatkan simpati dari para pengikut tarekat Syattariayah, hingga mereka sudi berpindah ke Nakhsyabandiyah. Hal tersebut, tentu saja membakar emosi para ulama atau guru-guru Syattariyah.

Adapun persoalan-persoalan yang sering menjadi bahan perdebatan antara tarekat Naqsybandiyyah dengan Syathariyyah adalah menyangkut penetapan awal dan akhir Ramadhan. Saat ini, terutama di sekitar Padang Panjang dan di Pariaman, perbedaan tersebut masih juga terjadi. Biasanya, para penganut Syathariyyah merayakan puasa Ramadan dua hari kemudian setelah para penganut tarekat Naqsybandiyyah merayakannya, sehingga karenanya mereka mendapatkan julukan “orang puasa kemudian”, sementara tarekat Naqsybandiyyah disebut orang sebagai “orang puasa dahulu”.

/…..Maka diundangnya ke kantornya menghadiri pertemuan itu. Dalam pertemuan itu, mula pertama memberi pengajian Inyiak Rasul. Dalam pengajian itu akhirnya sampai ke soal puasa, “Yang kita sayangkan di masa sekarang, zaman telah maju tetapi sebahagian kita masih suka juga di zaman bodoh. Apa sebabnya? Kalau dahulu kita akan masuk puasa tilik dahulu bulan, kalau sudah tampak baru kita puasa. Melihat bulan itu ke tempat yang tinggi, ke atas bukit, itu pekerjaan berbahaya mendatangkan penyakit. Mana contohnya? Kita pergi ke atas bukit, di situ tidak ada dangau tempat berteduh, dalam kita menanti-nanti bulan, ada badai gadang dan hujan, kita dangau tidak ada, terpaksalah basah kuyub, tiba di rumah bangkit kuro. Padahal sekarang telah ada almanak, telah tentu satu Ramadhan, tidak mendaki bukit dan tidak berhujan-hujan dan tidak kedinginan. Tidaklah bodoh namanya itu, yang mudah sudah ada kita pakai juga yang sukar lagi berbahaya.”

Maka mengusul Syekh Paseban, kata beliau, “itu keterangan tuanku betul. Ya, masih bodoh juga sebahagian kami, betul itu. Berbahaya pergi melihat bulan itu ke tempat yang tinggi, ke atas bukit, tempat yang sunyi, tidak ada dangau, kalau tiba badai dan hujan lebat, ya bangkai dingin dibuatnya. Maka mendengar keterangan Tuanku, ingin pula hati kami kepada yang mudah itu. Tetapi sebelum kami pindah kepada yang mudah itu, kami ingin dahulu mendengar hadits Nabi Muhammad yang menyuruh memasuki puasa dengan melihat hisab.” Mendengar usul dari Syekh Paseban itu, maka Inyiak Rasul terdiam, sebab tidak ada haditsnya yang menyuruh memasuki puasa dengan melihat hisab…/ (Al-Khatib. 2001: 26-27).



Di pertengahan abad ke-19, satu kelompok aliran Islam yang dipengaruhi mazab Wahabbiyyah masuk dan diperkenalkan di Sumatra Barat. Kelompok aliran Islam ini dikenal sebagai aliran modern, non tarekat, kaum muda. Kelompok ini mempunyai misi menghapuskan unsur-unsur animisme dan mistik yang dikandung dalam ajaran Islam konservatif, kaum muda. Dikarenakan sifat gerakannya yang radikal, aliran ini banyak ditentang oleh kelompok-kelompok Islam yang telah terlebih dahulu ada. Sehingga tidak mudah bagi sufi-sufi yang membawa ajaran baru ini, mengembangkan ajaran-ajarannya walau di kampung halamannya sendiri.

Gerakan yang dilakukan para ulama muda tersebut selalu mendapatkan kegagalan, karena aliran Syattariyah yang telah dianut selama berpuluh-puluh tahun oleh sebagian besar masyarakat muslim di Sumatera Barat, bahkan telah menjadi identitas bagi sebagian besar masyarakatnya, memberikan perlawanan. Sehingga, tak sedikit ulama-ulama muda yang “terusir” dari kampung halamannya, apabila ajaran-ajaran baru yang dikembangkan tidak diterima oleh masyarakatnya, seperti yang di alami oleh Syekh Daûd Al-Sûnur (Suryadi. 2004:180), hal yang sama juga dialami oleh tiga haji, yakni Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik (1803), yang baru pulang dari Mekkah, dan hendak menyebarkan doktrin-doktrin ajaran Wahabiyah dengan segala bentuk larangannya kepada orang kampungnya, mendapat pertentangan yang keras dari kekuatan ordonansi Syattariyah, mereka dipermalukan oleh guru-guru tarekat Syattariyah dan akhirnya masing-masingnya memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. Puncak dari serangkaian konflik tersebut adalah meletusnya perang Paderi (w. 1821-1830). Amran (1980:386), mengatakan bahwa pemberontakan Paderi ini adalah puncak dari rangkaian perdebatan mengenai benar dan salah, halal dan haram dalam ajaran Islam yang berkembang sebelumnya. Kaum Paderi beranggapan bahwa Islam yang dianut oleh masyarakat sebelumnya, kaum tua, penuh dengan unsur-unsur animisme, mistik, takhayyul, bid’ah dan khurâfât. “…gerakan Pidari ini dikembangkan oleh orang-orang yang penuh cita-cita, bersedia berkorban, penuh dinamisme. Tetapi kemudian sering dipaksakan secara berlebih-lebihan, terlalu picik dan kolot, kadang-kadang sama sekali tidak ada lagi hubungannya dengan agama yang ingin mereka “murnikan” sendiri. Bahwa mereka menentang adat istiadat yang bertentangan dengan agama, kita mengerti sekali…”

Dipenghujung abad ke-19, gerakan-gerakan pemurnian Islam yang dilakukan oleh kaum muda Islam Sumatra Barat, semakin menunjukkan eksitensinya. Masyarakat Minangkabau sendiri juga semakin simpati terhadap gerakan-gerakan yang dilancarkan kaum muda sehingga lama-kelamaan kaum tua, kelompok Islam konservatif, ditinggalkan oleh para pengikutnya. Namun begitu, setidaknya ada dua faktor utama yang mempengaruhi kondisi ini. pertama, disebut di sini adalah faktor internal, dan kedua faktor eksternal.

Faktor internal yakni kondisi kelompok Islam konservatif, kaum tua itu sendiri, yang pada masa itu sedang “paceklik” tokoh. Maksudnya, ulama-ulama yang dahulu sangat berpengaruh, misalkan saja dari Calau, Ulakan, Cangkiang, dllsbgnya, telah meninggal dunia, sedangkan khalifah penggantinya tidaklah terlalu matang keilmuannya.

Sedangkan faktor kedua adalah, faktor eksternal, yakni kondisi sosial politik yang terjadi di Arab. Di Arab, setidaknya, semenjak kemunduran Dinasti Ûsmâni (Turki), terjadi berbagai ketegangan. Ibn ‘Abd Al-Wahhab murid dari ‘Abd Allah bi Ibrahim bi Sayf Al-Najdi Al-Madani, seorang ulama Naqsyabandiyyah, mendeklarasikan perang terhadap doktrin-doktrin tradisional yang dinilai sesat dan telah membawa kemunduruan sosial, ekonomi dan politik umat Islam. Alasan tersebut cukup kuat, mengingat bangsa Eropa telah memulai mengembangkan ilmu pengetahuan dan tekhnologinya kembali, bahkan beberapa diantaranya, seperti Inggris, Belanda, Prancis dan Spanyol telah melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah di luar Eropa, termasuk Asia Tenggara, juga Sumatra Barat. Ketegangan-ketegangan tersebut selanjutnya melahirkan perperangan, perebutan kekuasaan, setelah gerakan ‘Ibn Abd Al-Wahhab bergabung dengan kekuatan Raja Ibn Sa’ud menjatuhkan rezim Raja Syarif Husen dan akhirnya menguasai seluruh Jazirah Arab (Ali. 2003). Di bawah kekuasaan Raja Ibn Sa’ud inilah faham Wahabbiyyah dapat berkembang dengan cepat ke penjuru negeri Islam, termasuk Sumatera Barat. Faktor ekstenal lainnya yang juga secara tidak langsung turut mempengaruhi kondisi ini adalah Terusan Suez. Memang semenjak dibukanya Terusan Suez tahun 1869. Koneksi antara negeri-negeri Arab dengan negeri-negeri Islam lainnya, termasuk Sumatra Barat semakin lancar, sehingga gejolak sosial politik yang terjadi di Arab pada waktu itu, cepat mempengaruhi negeri-negeri Islam lainnya, termasuk Sumatra Barat. (Suminto. 1986).

Demikianlah pada akhirnya, gerakan-gerakan kelompok Islam modern tersebut, juga turut merubah pandangan masyarakat Minang terhadap kelompok Islam konservatif dan juga ajaran-ajaran yang dikembangkannya. Banyak tudingan miris ditujukan kepada kelompok tua tersebut, ada yang menyebutkan “tukang sihir”, “tukan tenung”, dan lainnya.

/…Adapun menantu Angku Syekh Datuk adalah Juru Tulis Kepala Negri Lumindai. Dia selalu menghadiri orang bai’at, tetapi dia tidak sama bai’at. Disuruh serta dia tidak mau, sebab dia berpaham modern. Pada suatu hari dia akan pergi menghadiri orang bai’at, berkata isterinya, “Kemana itu?” “Pergi ke mesjid.” Jawabnya. Kata istrinya, “Sama pulalah baiat itu, kalau tidak jangan didengarkan juga orang bai’at.” Jawabnya “Tidak ada pula begitu.” Dia terus…/(Al-Khatib. Ibid. 68).

/…beliau Syekh Paseban, akan berangkat ke Mekkah. Orang rami memperkatakan beliau di lapau Simpang Tabing. Yang diperkatakan yaitu, kata orang, “rami benar orang datang menjelang Angku Paseban dari darat, dari mudik, maksudnya dari Pariaman, mengambil bai’at kepada beliau, dari pagi sampai malam tidak putus-putusnya.” Waktu itu, di situ sedang berada seorang ustadz, yang dipanggil orang Pakih Tanjung. Mendengar perkataan orang demikian, dia segera berdiri mengambil sepedanya sambil berkata, “Lekaslah berangkat Angku Paseban ini ke Mekkah, boleh nak Islam orang Koto Tangah ini.” [Kata] Katanya…/(Al-Khatib. Ibid. 70).



Di Mekkah sendiri, semenjak raja Ibnu Sa’ud berkuasa, perlakuan yang sama juga dialami oleh kelompok-kelompok Islam yang bermazhab tua (Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Maliki). Sehingga, tidak sedikit pula ulama-ulama tua yang pergi mengasingkan diri ke pedalaman Arab, jauh dari peradaban.

/…Oleh Raja Ibnu Sa’ud (Raja Wahabi), diaturnyalah pemerintahannya. Setelah aman, maka diperintahkannyalah menukar mazhab yang ada di Mekkah yaitu mazhab yang empat, mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali, ditukar dengan mazhab Wahabi. Tidak dibolehkan memakai mazhab yang empat dan segala kitab-kitab dari mazhab yang empat dikumpulkannya dan dibakar habis semuanya. Ulama yang tidak mau menukar mazhab dihukum pancung, sehingga sampai enam puluh orang ulama di Mekkah, Madinah dan Thaif yang dipancung. Begitu ganasnya Raja Sa’ud memaksakan mazhabnya…/ (Al-Khatib. Ibid. 93).

Wallahu a‘lam bishawab

Taruko, 13 Sya’ban 1427 Hhttp://www.blogger.com/img/blank.gif

Apakah setan (Iblis) berasal dari golongan malaikat atau jin?

http://quran-light.com/malayu/pages/news.php?nid=8


Ihwal apakah setan berasal dari golongan malaikat atau jin terdapat ragam pendapat.

Sumber perbedaan pendapat ini terkait dengan peristiwa penciptaan Nabi Adam As dimana para malaikat sujud kepada Adam As atas perintah Tuhan namun setan tidak melakukan hal yang sama.

Apakah setan (Iblis) berasal dari golongan malaikat atau jin?



Ihwal apakah setan berasal dari golongan malaikat atau jin terdapat ragam pendapat.

Sumber perbedaan pendapat ini terkait dengan peristiwa penciptaan Nabi Adam As dimana para malaikat sujud kepada Adam As atas perintah Tuhan namun setan tidak melakukan hal yang sama.

Sebagian berkata bahwa setan (Iblis) berasal dari golongan malaikat. Alasan mereka adalah bahwa karena pada ayat al-Qur’an, Iblis telah terkecualikan dari golongan malaikat (seluruh malaikat sujud kecuali Iblis), oleh karena itu Iblis tentu berasal dari golongan malaikat.

Terkecualikannya Iblis dari para malaikat tidak menunjukkan sejenisnya Iblis dengan para malikat. Melainkan menandaskan bahwa Iblis (lantaran ibadahnya ribuan tahun) berada di antara para malaikat dan dalam barisan para malaikat. Namun kemudian dikarenakan kepongahan, kesombongan, pembangkangan dan kebencian di hadapan Allah Swt maka ia dilempar keluar dari surga.

Beberapa poin berikut ini adalah untuk menegaskan masalah ini:

1. Allah Swt berfirman dalam surah al-Kahf, “Setan (Iblis) berasal dari jenis jin.”

2. Allah Swt menafikan segala bentuk kemungkinan bermaksiat dari para malaikat.

Dengan demikian para malaikat adalah makhluk yang suci dan sekali-kali tidak akan terjerembab dalam dosa, kebencian, kepongahan, lemaksiatan, congkak, dan lain sebagainya.

3. Pada sebagian ayat al-Qur’an mengemuka pembahasan tentang ayah dan datuk-datuk setan. Dan perkara ini menegaskan bahwa regenerasi dan kelahiran setan secara umum berlaku di kalangan jin sementara para malaikat merupakan maujud-maujud ruhani dan bahkan mereka tidak makan dan minum.

4. Allah Swt pada sebagian ayat al-Qur’an berfirman bahwa para malaikat ditempatkan sebagai para rasul. Rasul artinya utusan Allah dan barang siapa yang mengemban gelar rasul, hal ini menepis kemungkinan adanya segala jenis kekufuran, kesalahan, dan maksiat. Lalu bagaimana mungkin setan yang terjerat dalam maksiat besar ini adalah berasal dari golongan malaikat?

Di samping itu, konsesus ulama dan kabar mutawatir yang diriwayatkan dari para Imam Ahlulbait As menegaskan bahwa setan tidak berasal dari golongan malaikat. Dan sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa riwayat mutawatir merupakan salah satu media yang paling penting dalam menyingkap kebenaran hadis.



Penjelasan Detail:


Fokus dan sebab utama pengajuan soal ini berangkat dari peristiwa penciptaan Nabi Adam As. Tatkala Allah Swt hendak menciptakan manusia, malaikat bertanya dengan etika dan santun yang tinggi bahwa “Apakah kami tidak mencukupi untuk bertasbih dan mensucikan-Mu? Apa yang menjadi tujuan hakiki penciptaan manusia? Tuhan menjelaskan rahasia penciptaan Adam kepada malaikat bahwa manusia menjabat tugas sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Mendengar hal ini, para malaikat menerima seruan Tuhan untuk bersujud kepada Nabi Adam As dengan rendah hati, tulus, dan penuh penghormatan.

Di antara para malaikat, atau sebaiknya kita katakan bahwa di antara barisan para malaikat terdapat Iblis. Ia untuk beberapa lama beribadah kepada Tuhan. Namun di dalam batinnya tersembunyi sesuatu yang tiada mengetahuinya kecuali Tuhan. Rahasia yang tersembunyi selama ini terungkap pada peristiwa penciptaan Adam As. Terbukti Iblis membelakangi (kufur) perintah Tuhan. Sebenarnya Iblis telah kafir semenjak dulu namun dengan kepongahan dan pembangkangannya tidak sujud kepada Nabi Adam As, tirai kekufuran ini tersingkap.

Tatkala Allah Swt berfirman kepada seluruh malaikat dan Iblis (yang berada di antara mereka beribadah): Sujudlah kepada Adam, seluruh malaikat mematuhi perintah ini kecuali Iblis yang membangkang perintah ini dan tidak sujud kepada Adam As. Alasan Iblis adalah bahwa aku diciptakan dari api dan dia dari tanah lempung. Bagaimana mungkin maujud yang lebih tinggi sujud kepada makhluk yang lebih rendah?

Nampaknya Iblis lalai dari hakikat Adam As yang sebenarnya! Nampaknya ia tidak melihat bahwa ruh Ilahi telah dihembuskan ke dalam diri Adam As. Hakikat kemanusiaan manusia, nilai, dan harganya terletak pada mutiara malakuti yang berasal dari Allah Swt ini yang dianugerahkan kepada Adam As. Iya, menurut anggapan Setan, api lebih lembut daripada tanah lempung, kendati dalam analogi ini ia telah berbuat kesalahan – yang kini bukan menjadi fokus pembahasan kita – ia melihat Adam hanya dari unsur material dan duniawi (nasut) serta jasad manusia, namun lalai dari derajat menjulang kemanusiaan yang terpendam pada diri Adam! Dan dari dua perbuatan Iblis ini, ia mendapat dua reaksi, terusir dari surga dan dari haribaan Tuhan. Perbuatan Iblis pertama, merasa bangga terhadap aksi penciptaan manusia (dari lempung) dan perbuatan kedua adalah sombong dan puncaknya membangkang perintah dan titah Allah Swt.

Sekarang persoalan yang mengemuka adalah apakah Setan (Iblis) adalah termasuk dari golongan para malaikat atau tidak? Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita membongkar kosa kata dan redaksi dari pertanyaan ini secara selintas sehingga, dengan izin Allah Swt, kita menyodorkan jawaban yang mantap, kokoh dan ilmiah. Atas alasan ini, kita akan mengkaji beberapa redaksi berikut ini:

A. Setan;

B. Iblis;

C. Malaikat;

D. Jin.


A. Setan: Redaksi Setan bersumber dari dari kata sy-tha-na. Syâtin bermakna maujud yang rendah dan tercela, thagut, pembangkang, keras kepala. Setan ini dapat berwujud manusia atau jin, bahkan juga bermakna ruh jahat dan jauh dari kebenaran. Pada hakikatnya, terdapat titik kesamaan dari makna-makna ini.

Oleh karena itu, Setan merupakan nama spesies (nama jenis) yang dilekatkan kepada maujud yang menyesatkan (baik manusia atau bukan manusia) dan penggangu.

Dalam al-Qur’an dan juga dari lisan para Imam Ahlulbait As bahwa Setan tidak hanya disandarkan kepada satu maujud tertentu. Melainkan kepada manusia-manusia jahat atau bahkan akhlak tercela seperti hasud, juga disebut sebagai setan.[1]

B. Iblis: adalah nama khusus (‘alam) yang hanya memiliki satu individu luar (mishdaq). Ia orang yang pertama bermaksiat di alam semesta dan di hadapan Allah Swt mengklaim kemandirian wujudnya. Bersikap sombong dan congkak, membangkang perintah Tuhannya dan pada akhirnya diusir dari surga. Nama rendah lainnya Iblis adalah “Azâzil”[2] dan Iblis berasal dari kata “Ablas” yang sebenarnya merupakan gelar baginya. Iblis artinya berputus asa dan boleh jadi penyebutan ini karena Iblis telah berputus asa dari rahmat Tuhan sehingga ia disebut sebagai Iblis.

C. Malaikat: Baik kiranya untuk membongkar kata malaikat ini kita menyinggung sebagian sifat-sifat para malaikat sehingga kita dapat mengambil kesimpulan bahwa malaikat tidak memiliki kecendrungan ke arah maksiat. Oleh karena itu, Setan tidak dapat berasal dari jenis para malaikat.[3]

Malaikat-malaikat merupakan maujud yang disebutkan Tuhan dengan sebaik-baik sifat dalam al-Qur’an. Allah Swt berfirman, “Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya.” (Qs. Al-Anbiya [21]:26-27) Sekali-kali dalam diri para malaikat tidak ada kecendrungan untuk menentang kebenaran dan disetiap keadaan sibuk beribadah dan taat kepada Allah Swt. Para malaikat merupakan maujud yang suci (terjaga dari perbuatan dosa). Diri dan pronomina suci mereka sekali-kali tidak pernah ternoda oleh dosa. Dan yang lebih penting dari semua itu, ketaatan dan kepatuhannya di hadapan Tuhan mereka. Ekspresi ketidakmampuan mereka di hadapan segala sesuatu yang mereka tidak ketahui dan tidak bersikap congkak dan sombong atas apa yang mereka ketahui. Karena mereka yakin bahwa segala yang mereka miliki bersumber dari Allah Swt. Dan sekiranya sedetik saja berkehendak pada apa yang tidak diketahuinya, maka apa yang mereka ketahui juga akan menjadi ketidaktahuan.

Iya perbedaan utama antara para malaikat dan setan pada peristiwa penciptaan dan sujud kepada Adam akan menjadi jelas. Lantaran para malaikat dengan jiwa dan hatinya mendapatkan diri mereka tidak mengetahui ilmu tentang nama-nama Ilahi. Artinya mereka memahami bahwa banyak hal yang tidak mereka pahami. Namun setan dengan penentangan dan sombong memikirkan segala sesuatu mereka ketahui dan sekali-kali tidak memahami bahwa sujud kepada Adam karena ilmu-ilmu yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Dan pikiran gelap mereka sekali-kali tidak akan pernah dapat mengetahui ilmu-ilmu ini! Adanya sifat congkak dan sombong yang menjadi penghalang baginya untuk memahami dan pada akhirnya penghalang untuk sujud kepada Adam! Penolakannya untuk sujud adalah penolakan berdasarkan pada sikap congkak bukan lantaran ia tidak mampu untuk sujud!

Dengan penjelasan ini menjadi terang bahwa karena malaikat adalah suci dan terjaga dari segala bentuk kesalahan. Tatkala tiada jalan untuk berbuat dosa, maka seluruh perbuatannya adalah murni ketaatan kepada Tuhan. Apabila ketaatan kepada Tuhan adalah sesuatu yang mesti dan wajib, maka kekufuran, kesombongan, dan kemaksiatan kepada-Nya adalah sesuatu yang mustahil terjadi. (Dalil ini merupakan dalil rasional pertama terkait perbedaan antara setan dan malaikat, dan sebagai kesimpulannya bahwa setan bukan dari golongan malaikat)

Sebelum mengutarakan dalil-dalil rasional (aqli) dan referensial (ayat al-Qu'ran dan hadis), perlu kiranya di sini dijelaskan secara selintas terkait masalah jin.

D. Jin:
Jin pada dasarnya adalah suatu maujud yang tersembunyi dari panca indra manusia. Al-Qur’an membenarkan maujud sedemikian dan menjelaskan beberapa perkara tentang jin serta memandang jenisnya berasal dari api; sebagaimana jenis manusia diciptakan dari tanah. Namun tentu saja penciptaan makhluk-makhluk ini terjadi sebelum manusia.[4]

Sebagian ilmuan menyebut jin merupakan sejenis ruh yang berakal yang tidak memiliki unsur materi. Namun jelas bahwa jin bukan makhluk nonmateri secara mutlak. Karena sesuatu yang diciptakan dari api adalah materi dan satu kondisi setengah abstrak. Atau dengan bahasa lainnya disebut sebagai materi halus (jism latif).[5]

Pada banyak ayat-ayat al-Qur’an dijumpai bahwa jin juga sebagaimana jenis manusia, memiliki kehendak dan intelegensi serta dapat melaksanakan perkerjaan-pekerjaan berat. Terdapat jin yang beriman dan jin kafir. Sebagian adalah jin-jin shaleh, sebagian yang lain bermaksiat. Hidupnya sebagaimana manusia, dan memiliki hidup dan mati serta kiamat. Jenis kelaminnya ada pria dan wanita. Terdapat pernikahan dan regenerasi pada mereka.

Namun pembahasan inti adalah apakah iblis termasuk dari golongan malaikat atau tidak? Terdapat ragam pendapat dikalangan ulama, dan sumber perbedaannya boleh jadi bersandar pada sebagian ayat al-Qur’an.

Sebagian orang berkata bahwa setan berasal dari golongan malaikat. Dalil utama mereka adalah bersandar pada ayat yang menegaskan, ”Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Bersujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka bersujudlah mereka kecuali Iblis.” (Qs. Al-Baqarah [2]:34)

Karena pada ayat ini, iblis menjadi terkecualikan (mutstastna) dan yang dikecualikan dari (mutstastna minhu) para malaikat. Dan sebagai keseimpulannya iblis adalah makhluk dari jenis malaikat.

Tapi, penafsiran yang benar (dari ayat di atas) adalah bahwa iblis bukan dari golongan malaikat. Riwayat mutawatir yang sampai kepada kita dan para ulama Imamiyah sepakat tentang hal ini. Semuanya menegaskan bahwa iblis adalah dari golongan jin bukan dari malaikat! Dan untuk menetapkan masalah ini terdapat beberapa argumentasi dimana kami akan singgung beberapa di antaranya:

1. Allah Swt berfirman, “Iblis berasal dari golongan jin.” (Qs. Al-Kahf [18]:50)

2. Allah Swt berfirman, “Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Qs. Al-Tahrim [66]:6). Ayat ini menafikan secara umum kemaksiatan dari para malaikat. Dan hal ini menegaskan bahwa pertama, iblis bukan dari golongan malaikat, dan malaikat sekali-kali tidak akan pernah berbuat maksiat.

3. Allah Swt berfirman, “Patutkah kamu mengambil dia dan keturunannya sebagai pemimpin selain dari-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-Kahf [18]:50). Ayat ini menandaskan bahwa di antara golongan jin terdapat generasi atau dengan kata lain melahirkan dan melakukan regenerasi. Sementara penciptaan para malaikat dari cahaya dan kedua ini tentu tidak terdapat pada mereka.

4. Allah Swt berfirman, “Segala puji bagi Allah pencipta langit dan bumi, yang menjadikan malaikat sebagai para utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan).” (Qs. Fatir [35]:1), “Allah memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia.” (Qs. Al-Hajj [22]:75). Dan kita ketahui bahwa kekufuran dan kemaksiatan tidak dibenarkan pada Rasul dan utusan Tuhan.

Dalam menjawab argumentasi atas orang-orang yang menyoroti ayat terkecualikannya Iblis dari para malaikat adalah bahwa terkecualikannya iblis dari para malaikat sekali-kali tidak menunjukkan kesamaan jenis iblis dan malaikat. Yang dapat dipahami dari persoalan ini adalah bahwa iblis berada di barisan para malaikat dan seperti para malaikat bertugas untuk sujud. Bahkan sebagian orang berkata bahwa pengecualian dalam ayat ini termasuk suatu bentuk pengecualian dari yang bukan sejenisnya.[6]

Dalam mencirikan Iblis harus dikatakan bahwa kurang-lebih enam ribu tahun beribadah kepada Allah Swt. Oleh itu, menempatkan maujud seperti ini (yang beribadah dan taat kepada untuk beberapa lama) di barisan para malaikat sah-sah saja. Suatu waktu Imam Shadiq As ditanya bahwa apakah iblis dari golongan malaikat atau termasuk salah satu maujud samawi? Beliau bersabda, “Bukan dari golongan malaikat juga bukan salah satu maujud samawi. Melainkan ia adalah jin. Namun ia bersama para malaikat. Para malaikat juga beranggapan bahwa Iblis sejenis dengan mereka. Namun Allah Swt mengetahui bahwa tidak demikian. Peristiwa ini terus berlanjut hingga peristiwa perintah sujud kepada Nabi Adam As, dengan adanya peristiwa ini rahasia terpendam Iblis menjadi terungkap.[7][]



Literatur untuk telaah lebih jauh:

1. Thabarsi, Majma’ al-Bayan, jil. 1, hal. 163, ayat 34

2. Allamah Thaba-thabai, Tafsir al-Mizân, jil. 1, hal. 122 dan seterusnya. Jil. 8, hal. 20 dan seterusnya.

3. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Maudhu’i Qur’ân Karim, jil. 6, pembahasan yang berkenaan dengan penciptaan Adam

4. Misbah Yazdi, Ma’ârif al-Qur’ân, 1-3, hal. 297 dan seterusnya.

5. Tafsir Nemune, jil. 1, ayat 34, dan jil. 11, hal 8


[1] Raghib Isfahani, Mufrâdât al-Qur’ân, klausul syaitan.

[2] Thabarsi, Majma’ al-Bayan, jil. 1, hal. 165.

[3] Dari ayat yang terkait, redaksi para malaikat disebutkan dengan kata plural (jamak) disertai dengan alif-lam: artinya seluruh malaikat diperintahkan untuk sujud kepada Adam.

[4] “Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (Qs. Al-Hijr [15]:27)

[5] Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 11, hal. 79-80.

[6] Namun tentu saja terdapat dalil lain yang dijelaskan terkait masalah ini karena alasan terbatasnya ruang dan waktu, kita tidak akan membahasnya di sini. Bagi Anda yang tertarik silahkan Anda rujuk pada Tafsir Majma’ al-Bayan, surah Baqarah, ayat 34.

[7] Thabarsi, Majma’ al-Bayan, jil. 1, hal. 163, cetakan Beirut.