Monday 1 March 2010

DINAMIKA KEISLAMAN MASYARAKAT MINANGKABAU DI PERTENGAHAN ABAD KE-19 2008 Januari 26

http://jumpayerri.wordpress.com/2008/01/26/dinamika-keislaman-masyarakat-minangkabau-di-pertengahan-abad-ke-19/


by yerri

studi atas kitab inilah sejarah ringkas syekh paseban assyattari rahimahullah

ta’ala anhu

Di dua tulisan saya sebelumnya, yang telah diterbitkan media ini, telah disampaikan secara singkat tetang riwayat hidup Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Ta’ala Anhu, seorang ulama dari golongan tua, yang berithikad kepada tarekat Syattariyyah, dan surau serta warisannya yang berharga yakni manuskrip. Dan, setelah dipertimbangkan, sangat pelit rasanya apabila saya tidak pula meyampaikan suatu pandangan ilmiah mengenai bangunan teks, serta kondisi kontekstual yang mempengaruhi teks kitab Inilah Sejarah Ringkas Syekh Paseban Assyattari Rahimahullah Ta’ala Anhu (SP).

Berbagai sumber menyebutkan, pada abad ke-12/13, agama Islam masuk ke Sumatra Barat, ialah Syekh Burhanuddin, atau Burhân Al-Dîn atau Tuanku Ulakan (w. 1056-1104/1646-1692), murid dari Syekh Abd. Al Ra’ûf Al-Sinkilî (w. 1024-1105/1615-1693), yang membawa dan mengembangkannya. Dimulai pertama kalai di seputar wilayah rantau Pariaman, kemudian meluas ke daerah lainnya di Sumatra Barat. Navis (1980), menyebutkan bahwa perkembangan agama Islam di Sumatra Barat, dari dari faham yang pertama hingga masuknya faham baru, berlangsung selama kurang lebih limapuluh tahun. Namun, apabila ditilik dari sumber-sumber lainnya, maka, jarak antara masa Syekh Burhân Al-Dîn dengan masuknya ideologi keislaman setelahnya yakni Naqsyabandiyyah, adalah berkisar 127 tahun (Fathurahman, 2003).

Di Aceh, Al-Sinkilî, dalam mengajarkan agama Islam, juga memeperkenalkan, menerapkan azas-azas dan aturan-aturan organisasi tarekat, yakni Syattariyyah. Di Sumatra Barat, oleh Burhân Al-Dîn aliran Syattariyah berkembang dengan pesat. Di tempat lainnya di Indonesia, walaupun agak lambat, tarekat ini juga diajarkan, kuat dugaan bahwa tarekat ini dibawa oleh murid-murid Al-Sinkilî yang lainnya, yang memang pada waktu itu tidak hanya memiliki seorang Burhân Al-Dîn. Azra (2004:256) mencatat bahwa sejak di Haramayn, Abd. Al Ra’ûf Al-Sinkilî, telah memiliki banyak murid. Murid-murid tersebut menyebar keseluruh pelosok bumi. Sayangnya, Azra tidak memiliki data pasti siapa murid-murid Al-Sinkilî di Haramayn tersebut. Di Indonesia, ia memiliki beberapa murid, seperti, Burhân Al-Dîn (Minangkabau), ‘Abd. Al-Muhyi (Jawa Barat), ‘Abd. Al-Mâlik b. Abd. Allâh (Semenanjung Malaya), dan yang paling terkenal yaitu, Dâwûd Al-Jâwî Al-Fansûrî b. ‘Islâmîl b. Agha Mushthafâ b. Agha ‘Alî Al-Rûmî (Aceh).

Perkembangan agama Islam yang cepat tersebut, tidak lain dikarenakan kandungan unsur-unsur animisme dan mistik dalam ajarannya. Yatim (2002:202) menyebutkan bahwa para sufi Timur Tengah mendapatkan kemudahan dalam menyebarkan agama Islam, karena adanya sinkronisasi antara kepercayaan Hindu yang dianut oleh penduduk pribumi dengan ajaran tasawuf yang dibawa oleh para sufi tersebut. Salah satu ajaran tasawuf yang kontroversial yakni martabat tujuh. Dalam ajaran martabat tujuh disebutkan bahwa yang dimaksud wujud itu hanya satu walau kelihatannya banyak. Wujud yang satu itu memiliki dua dimensi yakni, dimensi batin (isi) dan dimensi lahir (kulit). Semua benda yang tampak adalah manifestasi dari dimensi batin, yaitu wujud yang hakiki, Allah S.W.T. Wujud yang hakiki itu mempunyai tujuh martabat,
yakni
1). Ahadiyah, wujud hakiki Allah S.W.T.,
2). Wahdah, hakikat Muhammad,
3). Wahidiyah, hakikat Adam,
4). Alam Arwah, hakikat nyawa,
5). Alam Mitsal, hakikat segala bentuk,
6). Alam Ajsam, hakikat tubuh,
7). Alam Insan, hakikat manusia.

Kesemuanya bermuara pada yang satu, yakni Ahadiyah, Allah S.W.T. Akan tetapi, tidak banyak dari para pengikut Syattariyyah dapat memahami ajaran tersebut.

Bahkan, tak jarang banyak pengikut yang keliru menginterpretasikannya. Akibatnya, sering terjadi benturan konsep antar sesama pengikut. Fathurrahman (2002), mengatakan bahwa kesalahfahaman terhadap ajaran-ajaran tasawuf tersebut muncul dari bawah -orang awam- yang kesulitan memahami ajaran-ajaran tasawuf yang sangat filosofis, sehingga mereka menginterpretasikannya secara sederhana. Di kalangan para sufi sendiri, perbedaan interpretasi ajaran-ajaran tasawuf tersebut, diakui akan dapat mengganggu atau bahkan menyesatkan para murid. Azra (2004: 357), mengatakan bahwa para pengikut ajaran tasawuf itu membutuhkan waktu relatif lama untuk menguasai kemurnian ajaran tasawuf. Mereka dituntut untuk patuh secara penuh, lahir maupun batin, terhadap ajaran ortodoksi Islam, atau yang lebih tepat lagi kepada syari’at. Karena menurut para ulama tersebut, mustahil bagi para murid mencapai tujuan spritualnya tanpa mematuhi sepenuhnya doktrin ortodoks Islam. Akibatnya, para murid menjadi pasif karena mereka telah menarik diri (‘uzlah) dari masalah duniawi untuk menguasai ajaran tasawuf.

Akibat yang lebih buruk dari sikap pelarian diri (escapism) itu adalah kemunduran sosial ekonomi dan politik umat muslim. Secara religius, ajaran ini dituduh sebagai sumber bid’ah dan takhayyul atau khurâfât. Di dalam kitab SP, kontroversi mengenai ajaran tasawuf tersebut ditemukan di dalam teks di bagian perdebatan antara Syekh Paseban Angku Calau membahas faham martabat tujuh.

/… Maka pada suatu hari, pergilah Angku Paseban dengan tiga orang muridnya menemui Angku Calau di Muara Sijunjung. Tiba di Calau, waktu Maghrib telah masuk, maka beliau sembahyang saja di tepi air bersama murid yang bertiga itu. Sudah sembahyang Magrib, barulah beliau naik ke surau. Menjelang sampai di surau beliau berkata kepada murid yang bertiga itu. Kata beliau, “Di atas surau nanti, kita sama saja, tidak seperti guru dengan murid.” Pagi-pagi beresoknya, orang sama minum. Beliau Angku Paseban minum sama pula Angku Calau. Maka, bertanya Angku Calau, “Dari mana?” Dijawab oleh Angku Paseban, “Kami dari Lubuk Alung.” Setelah selesai minum, ber[ceramah]ceramahlah Angku Calau dengan Angku Paseban.//Akhirnya sampai ceramah itu kepada persolaan martabat tujuh. Maka dibahaslah oleh Angku Paseban, maka terjadilah kekandasan …/(Al-Khatib.2001:21-22).

Masuknya ideologi baru

Selanjutnya, di akhir abad ke-18 hingga berlanjut awal abad ke-19, dinamika keislaman masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat memasuki masa-masa yang sangat dinamis. Kelompok-kelompok Islam konservatif Syattarriyyah, memperoleh tantangan dari kelompok-kelompok Islam konservatif lainnya, yakni Naqsyabandiyyah. Fathurahman (2003) menyebutkan bahwa serangkaian ketegangan antara Syattariyyah dan Naqsyabandiyyah yang terjadi itu, tidak saja menyangkut persoalan perbedaan faham dan ajaran semata, melainkan diantara keduanya saling rebutan kehormatan dan pengikut. Syekh Jalaluddin, seorang ulama di Cangkiang misalnya, telah berhasil mendapatkan simpati dari para pengikut tarekat Syattariayah, hingga mereka sudi berpindah ke Nakhsyabandiyah. Hal tersebut, tentu saja membakar emosi para ulama atau guru-guru Syattariyah.

Adapun persoalan-persoalan yang sering menjadi bahan perdebatan antara tarekat Naqsybandiyyah dengan Syathariyyah adalah menyangkut penetapan awal dan akhir Ramadhan. Saat ini, terutama di sekitar Padang Panjang dan di Pariaman, perbedaan tersebut masih juga terjadi. Biasanya, para penganut Syathariyyah merayakan puasa Ramadan dua hari kemudian setelah para penganut tarekat Naqsybandiyyah merayakannya, sehingga karenanya mereka mendapatkan julukan “orang puasa kemudian”, sementara tarekat Naqsybandiyyah disebut orang sebagai “orang puasa dahulu”.

/…..Maka diundangnya ke kantornya menghadiri pertemuan itu. Dalam pertemuan itu, mula pertama memberi pengajian Inyiak Rasul. Dalam pengajian itu akhirnya sampai ke soal puasa, “Yang kita sayangkan di masa sekarang, zaman telah maju tetapi sebahagian kita masih suka juga di zaman bodoh. Apa sebabnya? Kalau dahulu kita akan masuk puasa tilik dahulu bulan, kalau sudah tampak baru kita puasa. Melihat bulan itu ke tempat yang tinggi, ke atas bukit, itu pekerjaan berbahaya mendatangkan penyakit. Mana contohnya? Kita pergi ke atas bukit, di situ tidak ada dangau tempat berteduh, dalam kita menanti-nanti bulan, ada badai gadang dan hujan, kita dangau tidak ada, terpaksalah basah kuyub, tiba di rumah bangkit kuro. Padahal sekarang telah ada almanak, telah tentu satu Ramadhan, tidak mendaki bukit dan tidak berhujan-hujan dan tidak kedinginan. Tidaklah bodoh namanya itu, yang mudah sudah ada kita pakai juga yang sukar lagi berbahaya.”

Maka mengusul Syekh Paseban, kata beliau, “itu keterangan tuanku betul. Ya, masih bodoh juga sebahagian kami, betul itu. Berbahaya pergi melihat bulan itu ke tempat yang tinggi, ke atas bukit, tempat yang sunyi, tidak ada dangau, kalau tiba badai dan hujan lebat, ya bangkai dingin dibuatnya. Maka mendengar keterangan Tuanku, ingin pula hati kami kepada yang mudah itu. Tetapi sebelum kami pindah kepada yang mudah itu, kami ingin dahulu mendengar hadits Nabi Muhammad yang menyuruh memasuki puasa dengan melihat hisab.” Mendengar usul dari Syekh Paseban itu, maka Inyiak Rasul terdiam, sebab tidak ada haditsnya yang menyuruh memasuki puasa dengan melihat hisab…/ (Al-Khatib. 2001: 26-27).



Di pertengahan abad ke-19, satu kelompok aliran Islam yang dipengaruhi mazab Wahabbiyyah masuk dan diperkenalkan di Sumatra Barat. Kelompok aliran Islam ini dikenal sebagai aliran modern, non tarekat, kaum muda. Kelompok ini mempunyai misi menghapuskan unsur-unsur animisme dan mistik yang dikandung dalam ajaran Islam konservatif, kaum muda. Dikarenakan sifat gerakannya yang radikal, aliran ini banyak ditentang oleh kelompok-kelompok Islam yang telah terlebih dahulu ada. Sehingga tidak mudah bagi sufi-sufi yang membawa ajaran baru ini, mengembangkan ajaran-ajarannya walau di kampung halamannya sendiri.

Gerakan yang dilakukan para ulama muda tersebut selalu mendapatkan kegagalan, karena aliran Syattariyah yang telah dianut selama berpuluh-puluh tahun oleh sebagian besar masyarakat muslim di Sumatera Barat, bahkan telah menjadi identitas bagi sebagian besar masyarakatnya, memberikan perlawanan. Sehingga, tak sedikit ulama-ulama muda yang “terusir” dari kampung halamannya, apabila ajaran-ajaran baru yang dikembangkan tidak diterima oleh masyarakatnya, seperti yang di alami oleh Syekh Daûd Al-Sûnur (Suryadi. 2004:180), hal yang sama juga dialami oleh tiga haji, yakni Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumanik (1803), yang baru pulang dari Mekkah, dan hendak menyebarkan doktrin-doktrin ajaran Wahabiyah dengan segala bentuk larangannya kepada orang kampungnya, mendapat pertentangan yang keras dari kekuatan ordonansi Syattariyah, mereka dipermalukan oleh guru-guru tarekat Syattariyah dan akhirnya masing-masingnya memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. Puncak dari serangkaian konflik tersebut adalah meletusnya perang Paderi (w. 1821-1830). Amran (1980:386), mengatakan bahwa pemberontakan Paderi ini adalah puncak dari rangkaian perdebatan mengenai benar dan salah, halal dan haram dalam ajaran Islam yang berkembang sebelumnya. Kaum Paderi beranggapan bahwa Islam yang dianut oleh masyarakat sebelumnya, kaum tua, penuh dengan unsur-unsur animisme, mistik, takhayyul, bid’ah dan khurâfât. “…gerakan Pidari ini dikembangkan oleh orang-orang yang penuh cita-cita, bersedia berkorban, penuh dinamisme. Tetapi kemudian sering dipaksakan secara berlebih-lebihan, terlalu picik dan kolot, kadang-kadang sama sekali tidak ada lagi hubungannya dengan agama yang ingin mereka “murnikan” sendiri. Bahwa mereka menentang adat istiadat yang bertentangan dengan agama, kita mengerti sekali…”

Dipenghujung abad ke-19, gerakan-gerakan pemurnian Islam yang dilakukan oleh kaum muda Islam Sumatra Barat, semakin menunjukkan eksitensinya. Masyarakat Minangkabau sendiri juga semakin simpati terhadap gerakan-gerakan yang dilancarkan kaum muda sehingga lama-kelamaan kaum tua, kelompok Islam konservatif, ditinggalkan oleh para pengikutnya. Namun begitu, setidaknya ada dua faktor utama yang mempengaruhi kondisi ini. pertama, disebut di sini adalah faktor internal, dan kedua faktor eksternal.

Faktor internal yakni kondisi kelompok Islam konservatif, kaum tua itu sendiri, yang pada masa itu sedang “paceklik” tokoh. Maksudnya, ulama-ulama yang dahulu sangat berpengaruh, misalkan saja dari Calau, Ulakan, Cangkiang, dllsbgnya, telah meninggal dunia, sedangkan khalifah penggantinya tidaklah terlalu matang keilmuannya.

Sedangkan faktor kedua adalah, faktor eksternal, yakni kondisi sosial politik yang terjadi di Arab. Di Arab, setidaknya, semenjak kemunduran Dinasti Ûsmâni (Turki), terjadi berbagai ketegangan. Ibn ‘Abd Al-Wahhab murid dari ‘Abd Allah bi Ibrahim bi Sayf Al-Najdi Al-Madani, seorang ulama Naqsyabandiyyah, mendeklarasikan perang terhadap doktrin-doktrin tradisional yang dinilai sesat dan telah membawa kemunduruan sosial, ekonomi dan politik umat Islam. Alasan tersebut cukup kuat, mengingat bangsa Eropa telah memulai mengembangkan ilmu pengetahuan dan tekhnologinya kembali, bahkan beberapa diantaranya, seperti Inggris, Belanda, Prancis dan Spanyol telah melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah di luar Eropa, termasuk Asia Tenggara, juga Sumatra Barat. Ketegangan-ketegangan tersebut selanjutnya melahirkan perperangan, perebutan kekuasaan, setelah gerakan ‘Ibn Abd Al-Wahhab bergabung dengan kekuatan Raja Ibn Sa’ud menjatuhkan rezim Raja Syarif Husen dan akhirnya menguasai seluruh Jazirah Arab (Ali. 2003). Di bawah kekuasaan Raja Ibn Sa’ud inilah faham Wahabbiyyah dapat berkembang dengan cepat ke penjuru negeri Islam, termasuk Sumatera Barat. Faktor ekstenal lainnya yang juga secara tidak langsung turut mempengaruhi kondisi ini adalah Terusan Suez. Memang semenjak dibukanya Terusan Suez tahun 1869. Koneksi antara negeri-negeri Arab dengan negeri-negeri Islam lainnya, termasuk Sumatra Barat semakin lancar, sehingga gejolak sosial politik yang terjadi di Arab pada waktu itu, cepat mempengaruhi negeri-negeri Islam lainnya, termasuk Sumatra Barat. (Suminto. 1986).

Demikianlah pada akhirnya, gerakan-gerakan kelompok Islam modern tersebut, juga turut merubah pandangan masyarakat Minang terhadap kelompok Islam konservatif dan juga ajaran-ajaran yang dikembangkannya. Banyak tudingan miris ditujukan kepada kelompok tua tersebut, ada yang menyebutkan “tukang sihir”, “tukan tenung”, dan lainnya.

/…Adapun menantu Angku Syekh Datuk adalah Juru Tulis Kepala Negri Lumindai. Dia selalu menghadiri orang bai’at, tetapi dia tidak sama bai’at. Disuruh serta dia tidak mau, sebab dia berpaham modern. Pada suatu hari dia akan pergi menghadiri orang bai’at, berkata isterinya, “Kemana itu?” “Pergi ke mesjid.” Jawabnya. Kata istrinya, “Sama pulalah baiat itu, kalau tidak jangan didengarkan juga orang bai’at.” Jawabnya “Tidak ada pula begitu.” Dia terus…/(Al-Khatib. Ibid. 68).

/…beliau Syekh Paseban, akan berangkat ke Mekkah. Orang rami memperkatakan beliau di lapau Simpang Tabing. Yang diperkatakan yaitu, kata orang, “rami benar orang datang menjelang Angku Paseban dari darat, dari mudik, maksudnya dari Pariaman, mengambil bai’at kepada beliau, dari pagi sampai malam tidak putus-putusnya.” Waktu itu, di situ sedang berada seorang ustadz, yang dipanggil orang Pakih Tanjung. Mendengar perkataan orang demikian, dia segera berdiri mengambil sepedanya sambil berkata, “Lekaslah berangkat Angku Paseban ini ke Mekkah, boleh nak Islam orang Koto Tangah ini.” [Kata] Katanya…/(Al-Khatib. Ibid. 70).



Di Mekkah sendiri, semenjak raja Ibnu Sa’ud berkuasa, perlakuan yang sama juga dialami oleh kelompok-kelompok Islam yang bermazhab tua (Syafi’i, Hambali, Hanafi, dan Maliki). Sehingga, tidak sedikit pula ulama-ulama tua yang pergi mengasingkan diri ke pedalaman Arab, jauh dari peradaban.

/…Oleh Raja Ibnu Sa’ud (Raja Wahabi), diaturnyalah pemerintahannya. Setelah aman, maka diperintahkannyalah menukar mazhab yang ada di Mekkah yaitu mazhab yang empat, mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali, ditukar dengan mazhab Wahabi. Tidak dibolehkan memakai mazhab yang empat dan segala kitab-kitab dari mazhab yang empat dikumpulkannya dan dibakar habis semuanya. Ulama yang tidak mau menukar mazhab dihukum pancung, sehingga sampai enam puluh orang ulama di Mekkah, Madinah dan Thaif yang dipancung. Begitu ganasnya Raja Sa’ud memaksakan mazhabnya…/ (Al-Khatib. Ibid. 93).

Wallahu a‘lam bishawab

Taruko, 13 Sya’ban 1427 Hhttp://www.blogger.com/img/blank.gif

1 comment:

  1. salamunalaikum warahmatullahi wabarakutuh
    kepada Admin blog ini (QuranSains) perkenankan saya untuk bisa mendapatkan alamat mail untuk berhubungan langsung dengan via mail, ada beberapa hal yang saya ingin komunikasikan

    atas perkenannya saya mengucapkan terima kasih

    ReplyDelete