Saturday 27 February 2010

HAKIKAT UMUM - QURAN-ET SAINS 13

# Cara mempelajari Thoriqoh
# Beda Ilmu Hikmah dan Ilmu Tasawuf
# Benarkah Tasawwuf Hanya Amalan Wali?
# Bisakah Menghapus Dosa Dengan Dzikir?
# Bagaimana Caranya Masuk Thoriqoh?
# Tarekat Bukan Wirid Yang Aneh
# Mendapat Ilmu Hikmah Melalui Guru

Cara mempelajari Thoriqoh

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya tertarik untuk mempelajari tarekat. Adakah buku atau majalah yang bisa menjadi panduan untuk mempelajari tarekat, seperti tarekat Naqsabandiyah, tarekat Khalidiyah, tarekat Qodiriyah, terutama buku tentang tarekat Sadziliyah. Atas jawaban pengasuh, saya sampaikan terima kasih. Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Abriman

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Buku-buku tarekat benyak sekali. Namun, maaf saja, di dalamnya masih terdapat banyak kelemahan. Antara lain, jumlah karya terjemahannya yang masih terbatas. Saya berusaha menerjemahkan kitab-kitab terekat itu. Baik dari tarekat Naqshabandiyyah, Qadariyyah, Sadzaliyyah, Khalidiyyah, Sattariyyah, Tijaniyyah, Khalwatiyyah, Idrisiyyah, maupun yang lainnya. Hingga saat ini, masih banyak kitab yang belum sempat diterjemahkan. Bahkan yang sudah diterjemahkan pun jumlahnya masih relatif sedikit. Saudara Abriman, cobalah nanti baca kitab yang namanya Mafatih Al-Aliyah yang sekarang ini tengah kami terjemahkan. Selain itu ada lagi buku Manaqib Thariqah Sadziliyah. Minimal itu dulu barangkali yang bisa dipelajari.


Tarekat Sadziliyah itu sebenarnya mudah dan tidak sulit untuk dipelajari. Ada dua syarat di antaranya, yaitu belajar dan mengajar. Suluk orang-orang Sadziliyah juga hanya dua yaitu mengajar dan belajar. Yang mampu harus mengajar dan yang tidak mampu harus belajar. Itu sudah menjadi syarat utama. Mengaji, belajar, dan seterusnya. Di samping itu dituntut juga pengamalan. Jadi yang namanya belajar tidak pernah berhenti bagi penganut tarekat. Dan mengajar pun tidak pernah berhenti. Bagi penganut seluruh tarekat, pada hakikatnya seperti itu.
Posted by QuranSains at 4:43 PM
Beda Ilmu Hikmah dan Ilmu Tasawuf
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Ada pandangan yang berkembang bahwa ilmu hikmah sama dengan ilmu tasawuf. Seolah orang yang memiliki kelebihan supranatural, identik dengan seorang sufi. Saya jadi bingung. Sebenarnya apakah persamaan dan perbedaannya? Apakah karamah itu ada kaitannya dengan ilmu hikmah? Atas jawabannya, saya sampaikan terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

H.M. Syamsi Wafa Jin.

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ilmu tasawuf dan ilmu hikmah memiliki perbedaan yang jauh, sehingga jangan sekali-kali mencoba untuk mempersamakannya. Ilmu tasawuf itu erat kaitannya dengan ilmu tarekat dan ilmu syariat. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Mempelajari tasawuf tanpa syariat itu jelas tidak dibenarkan.

Untuk mempelajari tasawuf, harus mempelajari ilmu syariat dulu. Syariat sudah mengatur dan menjadi dasar. Kalau dipelihara dengan baik akan berbuah tarekat. Pakaian di antara tarekat tersebut adalah tasawuf. Ia mengatur bagaimana menjaga perbuatan, iman, amal dan Islam. Yaitu untuk mengantisipasi datangnya penyakit penyebab rusaknya amal, itulah yang disebut tasawuf. Maka itu inti tasawuf adalah akhlak dan adab atau sopan santun.

Ada orang yang diberi kelebihan oleh Allah (Swt) berupa ahlak dan adab. Ia memiliki kemampuan weruh sak durunge winarah, atau waskita, yaitu tahu sebelum kejadian. Bagi orang yang tahu, tidak akan berani berbicara sembarangan. Ia merasa malu kepada Allah karena mendahului kehendakNya.

Orang yang mencapai tingkatan tasawuf yang berakhlak dan beradab, akan mempergunakan tasawuf untuk menjaga diri dari perbuatan yang tidak menguntungkan. Seperti bagaimana membersihkan riya, atau bagaimana cara membawa wudhu yang maknannya bukan sekadar untuk menjalankan shalat tapi di luar shalat. Tapi bisakah wudhu itu, setelah menyucikan secara lahiriah, juga membuat suci batin. Ini hakikat wudhu dalam dunia tasawuf.

Sedangkan ilmu hikmah berbeda. Ilmu hikmah, asal dia mengetahui ilmu tauhid itu sudah cukup. Yaitu mempelajari fatwa ulama khususnya dan Baginda Nabi Muhammad (saw). Ulama yang mengetahui rahasia ayat, doa dan sebagainya sehingga bisa mengobati orang, berani tirakatnya, harus puasa sekian kali dan sebagainya, siapa pun asal siap mentalnya, bisa mempelajari ilmu hikmah itu. Untuk memberi pengobatan atau pertolongan itu, dengan jalur ilmu hikmah. Seperti supaya dagangannya laris, dan sebagainya, itu bisa dicapai oleh siapa pun. Ia mengetahui, membaca ini atau itu, bisa dipakai untuk jimat. Kalau ditaruh di toko, Allah (Swt) akan membukakan rezeki yang lebih banyak, dan orang yang membeli juga banyak sebab ada doa yang mengandung pengabulan hajat tersebut. Itulah ilmu hikmah, yang terkait dengan rahasia ilmu Al-Qur'an untuk dimanfaatkan manusia.

Bisa saja ilmu hikmah terkait dengan karomah. Tapi sebenarnya karamah itu dikhususkan bagi waliyullah atas kedekatan seseorang di sisi Allah dan Rasul-Nya. Sekali lagi saya tekankan, karamah bukan tujuan para wali. Tapi Allah (Swt) memberikannya. Jadi, mau diberi karamah apa pun, kalau Allah (Swt) memberi, sekalipun tidak masuk akal bagi manusia, itu sangat mungkin terjadi. Karena Allah (Swt) tidak pernah terikat oleh akal manusia. Para wali mempergunakan karomahnya bila terdesak. Sekalipun mampu, namun karena malu, mereka tidak sembarangan menggunakan. Apalagi karena itu bukan tujuan. Mereka tidak membangga-banggakan karomahnya. Sewaktu-waktu bila terdesak dan sangat diperlukan, baru itu akan keluar.

Orang yang menjalankan ilmu hikmah diberikan karomah karena karomahnya ayat-ayat Allah (Swt), yaitu yang memiliki kandungan asrar (rahasia) luar biasa. Karena itu Allah (Swt) menurunkan karomah. Tapi hakikatnya bukan karomah si pelaku ilmu hikmah, melainkan karena pribadinya bertawasul kemudian mendapat karomah dari ayat-ayat tersebut. Sedangkan para wali tidak. Karomah yang mereka miliki langsung dari Allah (Swt), yang disebabkan karena penghambaannya kepada Allah. Itu perbedaannya.
Posted by QuranSains at 4:36 PM
Benarkah Tasawwuf Hanya Amalan Wali?
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya bersyukur dapat berdialog karena dapat mengobati kerinduan saya sebagai pengamal tarekat Junaidi al-Bagdadi.

Di daerah saya ada penceramah yang mengatakan, shalat, puasa, zikir, shalawat dan lain-lain adalah tarekat atau jalan mendekat kepada Allah. Seolah kita tidak perlu mengambil salah satu tarekat yang muktabarah seperti yang kita kenal. Benarkah demikian? Beberapa penceramah pernah juga mengatakan, kita sebenarnya cukup belajar ilmu fikih. Karena amalan tarekat atau ilmu tasawuf adalah amalan wali. Sedangkan kita orang awam, bukan wali. Karena itu kami memohon petunjuk.

Lalu apa hukumnya bertarekat? Apa beda antara tarekat yang berbaiat dan amalan yang diambil dari kitab atau buku tanpa baiat? Apakah boleh mengamalkan tarekat lebih dari satu? Atas jawaban, kami ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh.

Saleh

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Ananda dan keluarga dilindungi Allah (Swt). Perlu Ananda ketahui, tarekat itu sangat luas. Saya tekankan, tarekat tidak bisa dilepaskan dengan syariat. Shalat, zakat dan haji adalah syariat Allah. Dalam tarekat itu disebut menjalankan syariat Allah. Yang dimaksud di sini adalah thariqat al-ihsan atau tarekat yang mengajarkan jalan kebajikan. Jangan salah membedakan syariat dan tarekat. Suatu hari, bertanya Sayyidina Ali kepada Baginda Nabi, "Ya Rasulullah, ajari kami jalan terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah." Kata Rasulullah, "Bersembah sujudlah kepada Allah seolah-olah engkau melihat Allah. Bila tidak mampu melihat, merasalah dilihat dan didengar oleh Yang Mahakuasa." Sekarang, mampukah kita menumbuhkan perasaan yang demikian di hati kita?

Saya tidak mau mengatakan orang lain, tapi saya katakan diri saya sendiri. Saya itu kalau membaca takbiratul ihram pada waktu itu saja ingat sedang berhadapan dengan Allah, tapi setelah membaca Iftitah atau surah Al-Fatihah, terkadang hati dan pikiran terbang melayang. Tidak merasa bahwa kita sedang dilihat dan didengar oleh Allah (Swt).

Menurut syariat, shalat seperti itu sudah sah. Sebab syariat hanya mengatur batal atau tidaknya berwudhu, sah atau tidaknya pakaian yang dikenakan. Itu cukup memenuhi syariat. Sedangkan tarekat tidak. Tarekat mengatur bagaimana hati kita pada waktu menghadap Allah, harus bersih dari yang lain. Sehingga merasa betul-betul bersih untuk bersembah sujud. Mampukah kita waktu sujud itu merasa sebagai hamba yang fakir? "Tiada yang wajib aku sembah melainkan Engkau." Dan waktu bersembah sujud kita merasakan kekurangan yang ada pada diri kita. Nah, itulah tarekat. Itulah yang dimaksud ihsan. Sehingga Sayidina Ali diajarkan Baginda Nabi, pada waktu menanyakan cara mendekat kepada Allah. Rasulullah bersabda, "Pejamkan matamu, duduk yang baik dengan bersila." Lalu ia ditalkin oleh Baginda Nabi, "La ilaha illallah, la ilaha illallah, la ilaha illallah, Muhammadur-rasulullah." Dari situ lahirlah ijazah zikir, seperti yang diajarkan Nabi.

Jika menjalankan ilmu syariat saja sudah dianggap cukup, mana mungkin Rasulullah mengajarkan hal itu pada Sayidina Ali? Padahal kita tahu siapa sebenarnya Sayidina Ali maupun sahabat yang lain. Jadi harus dipisah, mana yang merupakan syariat dan mana yang merupakan tarekat. Jadi berwudhu yang hanya sampai sebatas berwudhu—seperti menjaga agar tidak keluar angin dari belakang, tidak bersentuhan selain muhrimnya—itu baru dianggap memenuhi syarat saja.

Tarekat tidak. Anda dituntut menggunakan wudhu, bukan sekadar untuk mendirikan shalat. Tapi bagaimanakah akhlak orang yang berwudhu. Ketika kita sedang mengambil wudhu itu ada akhlaknya, ada adabnya. Bisakah wudhu membuat kita malu kepada Allah bila bermaksiat. Sedangkan tidak wudhu saja kita malu bermaksiat, apalagi menggunakan air wudhu. Selanjutnya, yang dimaksud dengan al-Muktabarah adalah tarekat yang asalnya dari Baginda Rasulullah (saw).

Ada jalurnya, ada sanad atau silsilahnya. Ada mata rantainya, yang kesemua berasal dari Baginda Nabi, sahabat, lalu kepada para wali.

Untuk pertanyaan yang terkait dengan ilmu fikih, harus diketahui bahwa ilmu fikih harus dipelajari oleh orang yang mau belajar ilmu tasawuf. Mereka ini hendaklah belajar ilmu syariat dulu dengan matang. Setelah itu baru melangkah ke dunia tarekat, terus tasawufnya. Tarekat tasawuf dan tarekat zikir itu berbeda. Kita harus mencapai tarekat zikir agar meraih ihsan. Karena tarekat tasawuf memerlukan orang yang alim betul dan cukup ilmunya. Kalau kita tidak mampu memahami dunia tasawuf, akibatnya bisa menyimpang. Terutama untuk memahami perkataan orang yang dekat kepada Allah. Mereka ini kerap memakai bahasa yang tinggi, yang sukar dicapai.

Tarekat akan menuntun kita memahami ihsan. Dari sinilah kita belajar ilmu tarekat. Dan tidak harus mengatakan bahwa ilmu tarekat adalah ilmu para wali. Itu tarekat tasawuf, jadi tasawufnya dahulu. Kita harus mencapai ihsan-nya dahulu.

Agar tidak tergolong sebagai manusia yang lalai kepada Allah (Swt), termasuk untuk menyambung hubungan antara shalat Subuh dan shalat Zuhur, shalat Zuhur dan shalat Asar, shalat Asar dan shalat Magrib, Magrib dan Isya, kita harus bertanya, di tengah-tengah antara shalat-shalat itu ada apa, kita harus berbuat apa? Perbuatan kita itulah yang mengindikasikan apakah kita tergolong lalai atau tidak. Nah, tarekat berperan di situ. Yaitu, agar ada keterkaitan, misalnya antara Subuh dan Zuhur, lalu menerapkannya pada realitas perbuatan kita dengan sesama. Jangan sampai kita hanya merasa dilihat dan didengar oleh Allah saat mengucap takbiratul ihram.

Kalau Anda bertanya apa hukum bertarekat, jawabannya ada dua. Pertama, kalau bertarekat dengan dasar supaya banyak berzikir, itu sunnah. Tapi kalau dasarnya untuk menjauhkan hati dari sifat yang tidak terpuji, seperti lalai kepada Allah hingga menimbulkan takabur, sombong, hasut dan dengki, dalam hal ini hukumnya wajib.

Yang dimaksud dengan baiat dalam tarekat adalah mengambil janji. Sebagaimana sahabat mengambil janji terhadap Nabi (saw). Yaitu janji meninggalkan perbuatan dosa besar, dan mengurangi dosa kecil. Mengapa kita mengurangi dosa kecil? Karena dosa kecil bermula dari kelalaian dan menganggap enteng. Sehingga disebut mengurangi, supaya kita betul-betul tidak lalai, walaupun sekecil apa pun. Kedua, janji taat kepada Allah dan Rasul-Nya, para wali dan para ulama, menaati Al-Qur'an dan Hadist, menaati negara dan pemerintahan. Ini yang disebut baiat. Baik antara pribadi dan Tuhannya, maupun pribadi dan Rasul-Nya.

Mengamalkan serangkaian wirid sebaiknya yang sudah diijazahkan, tidak secara ikhbar atau pemberitaan. Apalagi tidak melalui talkin (pengajaran langsung) dan baiat, dan tidak melalui seorang guru yang jelas. Sedangkan suatu ijazah, doa, ataupun membaca kitab tanpa seorang guru, terkadang akan salah memaknainya, termasuk tujuan yang ada di dalam kitab. Karena kita hanya memahami secara otodidak, sebatas kemampuan sendiri. Maka sebaiknya melalui seoarng guru.

Kalau dasarnya ada kemampuan, mengamalkan dua tarekat sekaligus dipersilakan saja. Kalau tidak, sebaiknya hanya satu saja, karena itu lebih baik. Sebab tarekat mempunyai madad (pertolongan) dan asrar (rahasia) yang berbeda. Dikhawatirkan, dua magnet yang berbeda ini menimbulkan ketidakstabilan. Itulah maksud para ulama melarang menduakan tarekat. Di sinilah masalahnya. Semoga Anda puas.
Posted by QuranSains at 4:32 PM
Bisakah Menghapus Dosa Dengan Dzikir?
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sering kita membaca sejarah para wali dalam kisah hidupnya sebelum menjadi wali. Ada di antaranya yang melakukan dosa besar, baik kepada Allah maupun sesama manusia. Singkat kata, akhirnya mereka bertobat. Tobat inilah yang menjadi akar permasalahannya. Sebab, walaupun sudah bertobat secara total, dimungkinkan masih terdapat sisa dosa kepada sesama manusia, yang belum semuanya termaafkan, mengingat besarnya dosa yang telah dilakukan. Apakah Allah dengan sifat ar-Rahman dan ar-Rahim-Nya akan mengangkat seseorang menjadi kekasih-Nya (wali) walaupun masih memiliki dosa dan noda yang belum seratus persen bersih?

Selanjutnya, apakah hal itu merupakan makna dan tafsir dari Hadist, "Likulli sya'in istiqalah wa stiqalatul-galbi bidzikrillah", yang artinya, "Setiap noda pasti ada alat untuk menghapusnya. Adapun alat untuk menghapus noda hati adalah seringnya melakukan zikir kepada Allah (Swt)." Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Achmad Fatich

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Masalah dosa, itu mutlak hak Allah, bukan hak kita. Kalau Allah (Swt) sudah memilihnya dan mengangkatnya, otomatis dosa itu akan lebur dengan sendirinya. Dan Dia, yang serba Maha dalam segala sifat-Nya, jelas lebih tahu kedudukan hamba yang akan diangkat-Nya. Jadi tidak perlu dipersoalkan. Kalau Allah mau mengangkat, apa sih beratnya mengampuni? Allah (Swt) itu sangat mudah untuk mengampuni, bukan seperti kita.

Mengenai pendapat Anda seputar zikir para wali, itu betul. Semua wali walaupun sudah tidak ada dosanya, tetap berzikir kepada Allah. Yang namanya zikir itu memiliki fungsi, pertama, menghapus dosa. Kedua, menghapus sifat-sifat yang tidak baik dan tidak terpuji, yang terdapat di dalam hati. Dan yang ketiga, memoles hati yang sudah bersih, biar lebih bersih, sehingga keluar sinar bintangnya. Itu terus berlangsung dan dilakukan agar sinar bintang itu bertambah mekar dan selalu terjaga. Demikian, semoga Anda memahami.
Posted by QuranSains at 4:29 PM
Bagaimana Caranya Masuk Thoriqoh?
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya tertarik dengan sufisme. Kehidupan modern yang congkak ini membuat manusia telah menjadi robot. Karena itu, untuk melipur diri, saya upayakan untuk belajar tasawuf. Tapi, bagaimana mungkin belajar tanpa guru. Sebab, saya pernah mendengar Hadist Rasululah (saw): "Barangsiapa belajar agama tanpa seorang guru, maka yang menjadi gurunya adalah setan." Dalam hal ini saya ingin mempelajari tarekat dan kalau perlu saya ingin masuk tarekat. Apa sebenarnya tarekat itu, bagaimana cara terlibat di dalamnya, dan di manakah saya bisa menghubunginya? Atas bantuannya saya ucapkan terima kasih.

Muhammad Ali Nu'man

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Ketertarikan Anda pada dunia tasawuf adalah hal yang wajar pada akhir-akhir ini. Tren sufisme kini telah menjadi warna di kota-kota besar di beberapa negara. Tarekat sendiri merupakan organisasi sufisme berdasarkan beberapa aliran. Wirid tarekat itu sama yaitu La ilaha Wallah dan Ya Allah yang dibaca dalam jumlah dan waktu tertentu. Jika tertarik pada tarekat atau perkumpulan zikir tertentu, Anda memang harus bisa melihat seperti apakah tarekatnya dan siapakah yang memimpinnya. Walapun pada zikir-zikir itu dibaca zikir ma'tsur (yang datang dari Rasulullah) namun bisa saja terjadi "penyelewengan" atau "penyimpangan" sehingga keluar dari jalur yang benar.

Pada tarekat, pertama kali yang perlu Anda perhatikan pertama adalah alirannya. Misalnya, Tarekat Naqshabandiyyah, Tarekat Qadiriyyah, Tarekat Syadziliyyah, Tarekat Syattariyyah, dan lain sebagainya. Menurut data yang ada pada Jam'iyyah Ahli Thariqah al-Mutabarah an-Nandhiyyah (perkumpulan ahli tarekat muktabar Indonesia), jumlah tarekat yang muktabar (diakui) itu ada sekitar tujuh puluh tarekat. Penegasan muktabar atau tidaknya sebuah tarekat, tentu melalui suatu penelitian. Pertama dari ajarannya. Adakah dari ajaran itu yang menyimpang dari ajaran Islam. Kedua, dari ketentuan wiridnya, tergolong ma'tsur atau tidak. Ketiga, memiliki silsilah (mata rantai) guru yang jelas hingga pada pendiri tarekatnya.

Selanjutnya, jika tarekat itu muktabar, maka Anda bisa mendatangi dan melihat gurunya. Guru tarekat yang merupakan guru ruhani itu haruslah orang yang mengerti agama. Jika tidak mengerti, maka bisa diragukan kapasitas keguruannya. Sebab, bagaimana ia memimpin sebuah organisasi ritual dan keruhanian sementara ia tidak mengerti agama? Sebab seseorang yang telah menapak jalur tarekat haruslah sudah sempurna syariatnya. Ia telah menjalani semua kewajiban agama bahkan termasuk shalat sunnahnya. Hal ini juga terkait dengan akhlak sang guru. Seseorang dianggap mengerti agama minimal bisa dilihat dari bacaan Al-Qur’annya. Sebab seorang ulama diukur pertama kalinya dari pemenuhan syarat menjadi imam shalat yang antara lain dari kefasihannya membaca Al-Qur'an.

Dari sini Anda bisa mempertanyakan syarat yang diperlukan untuk menjadi pengikut tarekat. Jika terlalu memberatkan Anda, maka tak perlu masuk. Carilah tarekat yang ringan dan tidak memberatkan. Sebab, dalam agama itu dikenal Hadist yang bunyinya: "Yassir wala tu'assir" atau artinya "Permudah dan jangan dipersulit".

Bisa saja Anda berlaku sufi tanpa harus masuk tarekat. Tapi, bagaimanapun harus melalui guru seperti yang kami sebut di atas tadi. Juga bisa dikaji beberapa buku tentang sufisme, yang sekali lagi harus dimengerti melalui seorang guru. Sebab, pada pemikiran sufisme juga terpantul pemikiran falsafah yang bisa membingungkan orang awam jika tidak dipandu oleh seorang guru yang benar. Sebab, seperti kata Syaikh Ruslan dalam Az-Zubad: "Barangsiapa mengamalkan sesuatu tanpa mengerti ilmunya, maka amalnya itu akan ditolak oleh Allah."
Posted by QuranSains at 3:13 AM
Tarekat Bukan Wirid Yang Aneh

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya ingin menyampaikan beberapa permasalahan. Pertama, sebagaimana dalam pelajaran tarekat, niat mengamalkan wiridnya adalah mencari keridhaan Allah semata, dan bukan lantaran kenikmatan surga atau pedihnya api neraka maupun motif dunia. Ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi a'tini mahabbataka wa ma'rifataka.


Pertanyaannya, kalau ada orang yang berdoa dengan tujuan dunia, misalnya, agar usahanya lancar, bolehkah mengamalkan wirid tarekat? Saya pernah mendengar keterangan, mengamalkan wirid tarekat niatnya harus mencari ridha-Nya semata, tidak boleh ditujukan untuk urusan duniawi sebab kita rugi lantaran salah niat sehingga pahala amal tarekat tidak teraih. Padahal, meskipun dalam mengerjakan wirid tarekat hanya mengharap ridha-Nya semata, akan tetapi efeknya tetap ada, yaitu masalah duniawi yang dengan sendirinya—tanpa diminta—akan ikut terselesaikan. Benarkah keterangan tersebut?


Pertanyaan selanjutnya, untuk urusan dunia, wirid manakah yang cepat makbul, wirid tarekat atau wirid non tarekat seperti shalawat, Asma Al-Husna, Basmalah, Al-Fatihah, surat Al-Waqi’ah dan sebagainya? Mohon dijelaskan! Terima kasih atas perhatiannya, semoga keterangannya dapat bermanfaat. Amin. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Supomo

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Wirid Tarekat itu sebenarnya bukan wirid yang aneh atau ganjil.


Wirid tarekat sebagian besar adalah kalimat La ilaha illallah atau Allah sebanyak yang ditentukan oleh tarekat itu sendiri. Ada yang mewiridkannya secara sirr (dalam hati/pelan) dan ada pula yang mewiridkannya secara jahr (keras). Jadi, wirid tarekat tidak ada yang baru. Kalaupun ada tambahan, hanya shalawat, Asma Al-Husna, dan pembacaan La hawla wala quwwata illa billah.


Lalu, apakah dengan bertarekat—atau dengan mengamalkan wirid tarekat tertentu—itu tak boleh berdoa untuk meraih harta dan dunia? Kita harus ketahui bahwa meminta dunia—termasuk kekayaan, kesejahteraan—tidak dilarang dalam Islam. Doa Sapu Jagat yang kita kenal, Rabbana atina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah wa qina adzab an-nar, adalah doa yang menginginkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Salah satu bentuk kebahagiaan di dunia adalah memiliki harta yang bisa dimafaatkan secara benar.


Banyak Hadist yang menyatakan agar seseorang selamat dari kemiskinan dan kefakiran. Misalnya, Rasulullah (saw) menganjurkan untuk rajin membaca surah Al-Waqi'ah. Nabi (saw) menjamin bahwa barangsiapa yang kerap membacanya, maka tidak akan jatuh miskin. Hal itu menunjukkan bahwa boleh saja seorang berdoa untuk memohon kekayaan atau lainnya asal dengan cara yang benar. Mendapat kekayaan di jalan yang halal adalah hal yang sangat terpuji. Nabi Sulaiman sendiri tercatat sebagai seorang Nabi yang kaya raya. Meskipun dalam Hadist disebutkan bahwa rentang waktu masuk surga antara para nabi dengan Nabi Sulaiman adalah selama seratus empat puluh tahun masa akhirat yang jauh lebih panjang dari masa hidup di dunia.


Harus diakui, bertarekat adalah dalam upaya mencari ridha dan rahmat Allah. Seorang yang mendapatkan ridha dan rahmat-Nya niscaya akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Kebahagiaan itu memang tidak senantiasa berbentuk harta berlimpah, karena itu bisa saja berbentuk lainnya seperti anak-anak yang cerdas, yang penurut, yang taat agama, hidup yang sehat, disukai tetangga, isteri yang salehah, pekerjaannya lancar, dan lain sebagainya. Tapi, kita tidak bisa mengingkari kemanusiaan kita yang memiliki nafsu, termasuk nafsu duniawi. Jadi, sah saja jika kita meminta rahmat dan ridha Allah juga terselip permohonan duniawi. Selama yang kita minta adalah hal yang tidak bertentangan dengan agama, yang masih dalam jangkauan ridha dan rahmat Allah, maka hal itu tak menjadi masalah.


Lalu wirid yang terbaik adalah membaca Al-Qur'an. "Barangsiapa ingin berdialog dengan Allah, maka bacalah Al-Qur'an," begitu sabda Rasulullah (saw). Dialog dengan Tuhan adalah wirid yang paling indah. Kemudian, membaca kalimah thayyibah seperti La Ilaha Illallah. Allah menjaminkan surga bagi para pembaca kalimat itu. Lainnya adalah istihgfar, shalawat, tahmid, tasbih, Asma al-Husna, doa-doa matsar dari Rasulullah. Wirid tarekat adalah juga wirid ma’tsur dari Rasulullah.
Posted by QuranSains at 3:09 AM
Mendapat Ilmu Hikmah Melalui Guru

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya ingin bertanya, apakah dapat dibenarkan dalam hukum Islam bahwa seseorang belajar ilmu kepada seorang kiai atau ustad yang berbentuk isian atau amalan tertentu. Karena selama ini yang saya dengar ada yang membolehkannya dan ada yang tidak. Atas jawaban Anda, saya ucapkan banyak terima kasih. Semoga amal dan kebaikan kita diterima Allah Swt. Amin. Wassalamualaikum Warahmatullahi wabarakatuh.

Zaenal Arifin

Jawaban:

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Pada prinsipnya, ilmu agama memang harus diperoleh melalui guru. Ada Hadist yang menyatakan bahwa jika seseorang belajar agama tanpa seorang guru, yang akan menjadi gurunya adalah setan. Karena itu, akan muncul pendapat nyeleneh dari orang yang belajar agama tidak melalui seorang guru. Seseorang tidak boleh menyombongkan diri dengan beranggapan bahwa ia mampu mempelajari ilmu apa pun—terutama agama—tanpa seorang guru. Justru orang seperti ini harus dihindari menjadi guru dan dihindari pendapatnya.


Dalam agama memang tidak semua ajarannya bisa dipahami melalui buku. Apalagi, buku yang dipelajari itu bukan dari teks aslinya yaitu bahasa Arab. Misalnya dari karya terjemahan yang kadangkala terjemahannya kurang akurat dan bisa membuat penafsiran berbeda.


Karena itu dalam dunia tarekat atau dunia wirid dan doa, kita selalu dianjurkan untuk mengamalkan sesuatu setelah mendapat izin dari guru (ijazah). Jika Anda ingin tergabung dengan tarekat misalnya, Anda harus menemukan seorang guru dulu. Guru-guru itu yang kemudian mengajari Anda bagaimana melakukan wirid secara benar. Bukan berarti Anda dilarang mengamalkan wirid dan zikir itu tanpa guru. Tetapi, akan lebih afdal jika Anda bisa memperolehnya dengan sanad (mata rantai) yang sah dan memiliki izin.


Apalagi pada soal yang Anda tanyakan itu. Tentu, itu sangat dianjurkan melalui seorang guru. Kita tidak bisa menutup mata terhadap doa-doa hikmah yang memiliki manfaat khusus seperti yang Anda maksud. Tentu Anda tak akan bisa melepaskannya tanpa guru. Hanya, jika menyinggung boleh-tidaknya mencari ilmu seperti yang Anda maksudkan itu, yang menjadi ukuran adalah:

1.
Tujuan mempelajari ilmu itu. Jika tujuannya buruk, maka itu dilarang. Jika tujuannya baik, maka itu diperbolehkan.
2.
Cara mempelajari ilmu. Apakah bertentangan dengan agama atau tidak. Jika tidak, misalnya, selalu menganjurkan berpuasa dan berwirid, maka itu tak ada masalah. Berbeda jika Anda dianjurkan untuk melakukan hal yang aneh-aneh, misalnya puasa pati geni selama seminggu yang menyiksa tubuh, telanjang di pinggir kali, dan sebagainya.
3.
Yang dibaca adalah wirid dan zikir ma'tsur (dari Rasulullah) dan ayat-ayat Al-Qur'an.
4.
Tidak menyekutukan Allah. Artinya, apa pun yang diperoleh adalah anugerah-Nya, dan tak bisa mengelak dari takdir-Nya.


Jika ukurannya masih dalam tahap yang dimaksud, maka itu tak ada masalah. Sebab, ilmu hikmah juga ada dalam khazanah Islam dan diamalkan para ulama besar. Hanya saja, menurut hemat kami, sebaiknya Anda cukup mengamalkan Ratib Haddad, Asma al-Husna, tahlil, dan membaca Al-Qur'an, karena itu memberi pengaruh yang baik pada jiwa, dan Anda akan selalu dilindungi Allah. Wirid itu juga terkenal ampuh untuk mendinginkan hati pembacanya. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

No comments:

Post a Comment