Saturday 27 February 2010

HAKIKAT UMUM - QURAN-ET SAINS 5

# Menghamba Karena Cinta
# Ajal Sang Pecundang
# Teologi (Musibah)
# Boneka Kriminil
# Setan Itu Bernama Preman
# Berharap Ganjaran Dengan Tidur
# Ramadhan Seumur Hidup

Menghamba Karena Cinta

Suatu ketika Imril Qoesh merasa sangat kesepian. Berbulan-bulan lamanya dia tak bertemu sang kekasih tercinta. Laila Majnun namanya.

Pagi hari tiba. Imril mengendap–endap di balik semak dekat rumah Laila. Toh, Laila tak pernah lagi duduk di batu sungai itu. Siang hari, Imril terlihat tergopoh–gopoh menyelinap di gubug sawah milik orang tua Laila. Lagi lagi Laila tak pernah lagi mengantar rantang makan siang untuk para petani di sawah itu.

Petang hari, Imril kembali munduk-munduk di balik semak dekat rumah Laila. Tapi toh Laila tak ada di pancuran air tempat dia biasa mengambil air wudlu. sungai, pematang sawah, pancuran air wudlu, kebun anggur, beranda rumah, toh lagi–lagi Laila tak ada di sana.

Imril gelisah. Cintanya sirna entah ke mana. Imril meratap. Dia menangis tersedu-sedu. Makanan yang tersedia di meja, tak disentuhnya. Imril benar-benar puasa! Tapi sekali lagi Laila tak ada di tempat.

Sampai akhirnya, pemuda "gila cinta" ini nekat, mendekat ke rumah Laila. Di dekapnya dinding kamar Laila. Di situlah, entah berapa kali lamanya, Imril menyebut kekasihnya; Laila, Laila, Laila.....(konon ada menyebut, 2 tahun, tapi banyak yang mengatakan sepanjang sisa hidupnya, Imril masih terlihat menempel di dinding kamar kekasihnya).

Itulah Imril. Itulah si pemuja cinta. Dia benar-benar mencintai cinta. Apapun akan dilakukannya demi cinta.
Pepatah mengatakan; man ahabba syaeq, katsura dzikruh. Waman ahabba syaeq, fahuwa abduh. Barang siapa mencintai sesuatu, dia akan sering menyebut sesuatu itu. Dan barang siapa mencintai sesuatu, dia pasti akan menjadi hamba sesuatu itu.

Imril pasti sangat mencintai Laila. Karena itu dia pasti sering menyebutnya. Imril pasti juga mencintai Laila. Karena itu, dia pasti mau rnenjadi hamba Laila.

Lalu saya, panjenengan semua, siapa yang kita cinta? Umat Islam, pada bulan Ramadan yang pada malam hari banyak menyebut dan berdzikir pada pencipta, yang pada siang harinya banyak beristighfar pada Tuhannya, yang mau diwajibkan menahan lapar dahaga, menahan nafsu, menahan tak berkata kotor. Yang dalam tingkah lakunya dilarang menyakiti, apalagi jotos–jotosan sesama kawan, yang di dalam politiknya dilarang bertanding, tapi memperbanyak bersanding, yang di dalam hatinya dilarang ada iri dan dengki, dan sebagainya.

Dan yang ada dalam dirinya tak boleh ada rasa menang sendiri, pasti mereka-mereka itu tergolong para pecinta itu. Pasti mereka–mereka itu mencintai pencipta, karena setiap kali manusia berdzikir kepada–Nya.

Dan pasti! Mereka–mereka itu mencintai Allah Tuhannya. Karena manusia mau menjadi hamba-Nya Mau diperintahkan untuk puasa, menahan nafsu, dan tidak berkata kotor.

Dan yang pasti mereka itu juga mencintai dzat yang memang patut dicintai. Karena mereka-mereka itu mau meninggalkan apa yang dilarang. Mereka tak pernah tinju–tinjuan, mereka juga tak pernah ingin menang-menangan, apalagi menyombongkan diri.

Karena memang mereka itu; mencintai!

Lalu, saya dan panjenengan semua, sudahkan mencintai dzat yang memang patut dicintai? Sudahkah, kita menyayangi dzat yang agung karena sifat sayangnya? Kalau begitu mari kita terus berdzikir kepada-Nya.

Kalau begitu, mari juga kita menjadi hamba-Nya. "Barangsiapa mencintai Allah, dia pasti akan selalu berdzikir asma-Nya. Dan barang siapa mencintai-Nya, maka dia akan menjadi hambanya."
Posted by QuranSains at 6:35 AM

Ajal Sang Pecundang

Siapakah sesungguhnya pecundang di muka bumi ini? Jangan-jangan Anda adalah pecundang itu. Jangan-jangan mereka yang seringkali teriak maling adalah maling itu sendiri. Jangan-jangan yang suka membuat isu perdamaian justru yang membuat kekacauan. Jangan-jangan yang suka meneriaki teroris justru biangnya teroris. Jangan-jangan mereka yang ingin jadi pahlawan itu, justru para pecundang.

Mari kita renungkan bagaimana perjudian marak? Kenapa dan bagaimana semua bisa terjadi? Hanya satu jawabannya. “Memang demikianlah watak dunia, karena itu Anda jangan merasa asing dengan remang-remang dunia, kerumitan dan kegelapan dunia, sepanjang Anda masih ada di dunia.”

Para pecundang adalah mereka yang menganggap dunia merupakan kehidupan abadi. Dunia adalah kehidupan yang selama-lamanya bisa dihuni, karena itu mereka menumpuk harta, mengoleksi wanita, menjadikan syahwatnya liar, dan mereka guyur jiwanya dengan miras-miras yang bisa menambah kemabukan di tengah keremangan duniawi ini.

Para pecundang sesungguhnya berada di antara batas radar atau tidak, bahwa hidup ini terbatas, dan setelah itu hanya kuburan. Hanya saja mereka tidak tahu, bahwa ajal yang berakhir dengan kiamat bagi dunia ini, berakhir secara su'ul khotimah (akhir yang gelap). Seandainya dunia ini pun penuh dengan kebajikan, dan kegelapan tersingkir jauh-jauh dari dunia, jelas dunia pun kiamat, karena dunia tidak akan mampu menahan kebajikan yang penuh. Sebaliknya jika dunia ini penuh dengan kegelapan, tanpa peradaban dan cahaya, pasti dunia juga kiamat.

Hanya saja garis hitam bagi dunia adalah akhir dari kehidupan sang pecundang yaitu tergolek dalam kegelapan. Ketika kegelapan memayungi atmosfir dunia secara total, tibalah apa yang disebut dengan kiamat.

Maka, para pecundang mesti bercermin lagi, bukan dengan membalik kaca cermin, atau bercermin di mosaik yang retak-retak. Jangan bercermin pada cermin bening di tengah malam gelap gulita! Tapi harus bercermin pada cermin yang benar, ada cahaya, dan tidak ada lagi hambatan yang bisa menghadang antara pantulan wajahnya dengan kenyataan hidupnya.

Teriakan ajal sang pecundang selalu mengerikan, sia-sia, sangsi, dan sangat menjijikkan jika didengar oleh hati yang hidup. Sebab hati para pecundang sudah mati, sudah menjadi fosil yang yang membatu, dan hanya menjadi makian sepanjang sejarah.
Posted by QuranSains at 6:34 AM

Teologi (Musibah)

Bumi, tempat manusia membangun kekhalifahannya, ternyata sarat dengan sejarah musibah dan bencana. Hubungan bencana dengan perspektif ketuhanan, mencapai puncaknya di zaman Nabi Nuh AS, dimana kisah-kisah drama teologis memiliki akibat-akibat terhadap lingkungan ketika itu, berakhir dengan tenggelamnya bumi di negeri Nabi Nuh. Kisah Nabi Nuh yang monumental itu, pasti tidak berdiri sendiri sebagai peristiwa historis dari jagad bumi, tetapi mengandung penafsiran, baik dari segi geologis, meteorologis, maupun teologis. Dari sana akan banyak terpantul hubungan lingkungan hidup dengan teologi. Begitu juga di zaman Luth, ketika para Malaikat menjungkir balikkan negeri kaumnya itu akibat sodomi dan perzinaan.

Sebuah pemahaman yang memerlukan eksplorasi lebih lauh, hubungan antara kualitas spiritual umat manusia dengan fenomena alam lingkungannya. Sebagaimana pernah tercetus dalam hadits Nabi SAW, “Dunia ini tidak akan kiamat, manakala masih ada seorang yang mengingat (dzikr) nama Allah”.
Hadits ini memantulkan makna betapa erat hubungan gravitasi spiritual dengan dunia material, khususnya dalam menjaga keseimbangan bumi.

Dalam Al-Qur'an disuratkan posisi manusia sebagai khalifah, namun juga memiliki potensi destruktif, sebagaimana diprediksi oleh malaikat tentang ulah manusia yang bisa merusak lingkungan bumi dan menumpahkan darah. Ibnu Araby, seorang ulama sufi terbesar abad 13 dari Spanyol, dalam tafsir sufinya memberikan penafsiran mengenai prediksi malaikat seputar potensi destruktif manusia dalam dua sifat negatif; Sifat nafsu kebinatangan (hewaniyah) yang berujung pada perusakan peradaban bumi di satu sisi; dan di sisi lain munculnya nafsu kebuasan (sabu'iyah) yang memproduksi kekejaman dan peperangan.

Sejauh itu, manusia juga memiliki potensi "kedekatan teologis" paling sempurna di antara makhluk Allah - lebih dekat daripada Malaikat - sehingga manusialah satu-satunya makhluk Allah yang memiliki otoritas peradaban bumi (khalifah) itu. Tetapi untuk membangun peradaban diperlukan adanya aturan-aturan bumi yang universal, dan karenanya kitab-kitab suci diturunkan, agar kelangsungan sejarah bumi tidak anarkis. Karena ketika terbukti anarkisme muncul, baik secara teologis, sosial maupun lingkungan, senantiasa diikuti oleh paradok-paradok alamiah yang sangat berpengaruh bagi ketentraman psikologi dan kehidupan sosio-kultural bumi.

Tinjauan sufistik ketika musibah baik gempa maupun banjir melanda wilayah negeri kita, khususnya di ibukota. Kita dibuat terjengah. Sudah sedemikian parahkah etika peradaban di ibukota? Masih adakah yang "menyaksikan Allah" di tengah air bah yang membanjiri rumah, sawah ladang dan jalan-jalan kita? Tanah longsor, dan gunung meletus, serta hutan yang terbakar, yang menimpa kebanyakan rakyat kecil. Lalu apakah mereka masih punya hak protes keadilan, kepada Allah atau kepada para elit? Pertanyaan-pertanyaan teologis di atas, akan semakin terbuka ketika kita membuka kembali lembaran-lembaran teosofik, sebagaimana wacana para sufi menggambarkan tentang musibah, nikmat, ibadah dan maksiat.

Sebab di sanalah ada nucleus peradaban paling "dini". Ketika kita ingin menelusuri hubungan psikologi manusia dengan Tuhan dan alam semesta. Perspektif sufi yang memandang musibah, termasuk banjir, secara teologis dikembalikan pada solusi "dari dalam", yaitu dari dimensi Ilahiyah. Banjir dan musibah mana pun merupakan "pesta spiritual" bagi kaum sufi. Karena sesungguhnya pada saat yang sama manusia harus menjenguk kembali benang merah spiritual yang tenggelam oleh carut marut ulahnya selama ini. Disebut "pesta" karena eksodus spiritual menuju kepada Allah terkadang muncul ketika musibah menjadi pintu masuknya. Sebagaimana As-Sakandary, Shohibul Hikam, memaparkan, “Terkadang Allah mentakdirkan sang hamba untuk berbuat dosa, agar sang hamba lebih dekat denganNya”.

Dengan kata lain, terkadang ketika kepatuhan-kepatuhan ruhani sebagai pendekatan yang menghubungkan manusia dengan Allah tidak lagi berjalan efektif dengan berbagai alibi penyimpangan spiritual, Allah "memaksakan" sifat-sifatNya yang tampil di bumi, melalui sifat-Nya Yang Maha Perkasa, Yang Maha Menyiksa, Yang Maha Besar, Yang Maha Adil dan Yang Maha Menghina. Sifat-sifat tersebut muncul di saat "bisikan-bisikan halusNya" tidak direspon dengan hormat oleh para hambaNya, maka Allah menyuarakan "bentakan-Nya", demi peradaban manusia itu sendiri. Dalam perspektif sufiologis, ada tiga matra yang bisa kita tampilkan, agar Allah senantiasa "tampak", sekali pun di atas genangan musibah banjir, sebagaimana kita alami saat ini. Ketika manusia menjalani kepatuhan ibadah kepadaNya, mereka harus melihat bahwa kemampuan ibadah itu semata karena karuniaNya yang muncul dalam gerak spiritual hamba. Bukan klaim usaha pcnghambaan, ikhtiar amal, atau pun jerih payahnya. Sebab klaim itu bisa menimbulkan dampak psikologis yang negatif, sehingga seseorang merasa paling agamis, paling suci, paling benar dan paling berprestasi spiritualitasnya.
Posted by QuranSains at 6:32 AM


Boneka Kriminil


Walaupun penjahat Amerika Serikat dan sekutunya telah selesai memborbardir rakyat tak berdosa Irak, tetapi mengapa kejahatan hampir di seantero dunia, termasuk Indonesia juga terus marak. Tidak jelas benar, adakah hubungan struktural antara Bush dengan penjahat dalam negeri kita? Atau setidak-tidaknya apakah ada boneka-boneka kejahatan yang mengalir ke Bush dari negeri ini?

Anehnya para penjahat kita juga sangat menyenangi membaca berita perang, ada juga yang menjagokan AS dan sekutunya, ada pula yang menjagokan Saddam Husein. Tapi mereka tidak selalu sebagai antek-antek kedua tokoh itu. Dalam kriminologi (ilmu tentang kejahatan), proses-proses tumbuhnya kejahatan biasanya karena tiga faktor. Kriminologi klasik menganggapnya sebagai kejahatan turunan yang muncul dari DNA jahat, sehingga watak jahatlah yang menimbulkan potensi kejahatan seseorang. Namun menurut kriminologi modern, kejahatan tumbuh karena lingkungan yang mendorong seseorang untuk jahat, balas dendam, tekanan materi, karena kecemburuan sosial, politik, ekonomi. Bisa juga karena harus melakukan tugas kejahatan demi meneladani kejahatan atasannya.

Pintarnya para penjahat tentu tidak lepas dari pintarnya iblis yang puluhan ribu tahun telah mempelajari manusia dalam laboratorium kejahatannya. Manusia memasuki arena gelap gulita. Mereka bersorak kelak di atas neraka. Allah sudah memberi wadah khusus berupa surga para penjahat, neraka! Rupanya neraka telah memberikan tempat yang nyaman pada setan, karena setan akan terpuaskan dengan kegelapan-kegelapan yang menyelimutinya.

Setan terus mengobarkan permusuhan, konflik, distabilisasi, demi kepentingan politiknya. Karena itu apakah Anda sendiri adalah setan atau bukan, sangat tergantung apakah Anda telah melakukan eksploitasi sifat-sifat jahat Anda untuk kepentingan hawa nafsu Anda?

Apakah Anda boneka-boneka kejahatan yang dengan bangganya Anda menjadi agen-agen penjahat dunia? Itu juga sangat tergantung apakah Anda merasa puas dengan sadisme yang Anda miliki di satu sisi dan hedonisme serta syahwatisme liar yang Anda manjakan.

Dan kesimpulannya, apakah Anda terus menerus menghindar dari Allah. Kemudian membangun alibi-alibi tertentu agar Anda tampak sebagai manusia yang berada sebagaimana dilakukan oleh Bush dan sekutunya? Jika demikian adanya, Anda telah memasuki lorong gravitasi penderitaan yang mengerikan di dunia ini. Sebab tak ada yang lebih menderita dibanding mereka yang menjauhi Allah dari atmosfir kehidupannya. Dan tak ada yang lebih hina dibanding mereka yang menerobos batas-batas Ilahiyah demi kepuasan nafsunya.

Kita bangun dunia kebajikan, tetapi tidak akan bisa memusnahkan kejahatan. Tugas kita memang memusnahkan kejahatan, dan bukan memberi hidayah pada para penjahat.
Posted by QuranSains at 6:31 AM

Setan Itu Bernama Preman

Premanisme itu anarkisme! Ideologi liberal tentang kejahatan, baik yang terorganisir dalam mafioso maupun berdiri sendiri. Lalu menggeliat dalam dunia bisnis. Muncullah pasar gelap (black market), penyelundupan yang birokratik, dan rapi. Bahkan tidak jarang premanisme muncul dalam peradilan hukum dan politik, atau pun eksploitasi kemiskinan.

Tommy Winata jadi fokus berita. Beritanya cukup menggemparkan, setara dengan Tommy Soeharto. Lalu Para preman bersiap siaga, siap membela sang boss, demi perjongosan wilayah preman. Demi mengokohkan betapa garangnya fisik mereka. Siapa yang kuat, siapa yang menang. Ujung-ujungnya adalah duit dan kekuasaan preman. Bedebah!

Apakah para preman, baik yang berdasi maupun yang bertato, hadir atas kehendak Allah? Jika demikian, kenapa Allah menciptakan preman-preman di sekitar peradaban kita? Ataukah preman-preman itu tidak lebih dari kacung-kacung dan jongos, dan sang bos tunggal adalah iblis. Jika demikian, berarti betapa seringnya iblis melakukan perselingkuhan dengan nafsu kebinatangan dan kebuas manusia, dengan mengambil tempat di sebuah pasar duniawi yang dirayakan oleh pesta syahwat dan tipu daya?

Kalau para preman bertato, berkapak merah berkeliaran di bus dan kereta, bahkan berkeliaran bursa saham, gedung terhormat DPR/MPR, di ketiak dan selangkangan birokrasi atau di sandaran militer. Semuanya tidak lebih bahwa pesta robohnya suatu peradaban bangsa sedang digaris oleh Allah. Jika Allah ingin menghancurkan bangsa ini, maka Allah menurunkan para preman untuk menguasai lahan bisnis, peradilan, pemerintahan, institusi parpol, bahkan lebih keji lagi menguasai kebudayaan.

Para preman "yang terhormat" (dan juga terlaknat), biasanya mencuci kotorannya melalui sumbangsih sosial, bikin money politic. Kalau perlu berjubah di masjid-masjid. Inilah era di mana anarkisme peradaban memasuki kegelapan jahiliyah modern. Dan premanisme memiliki lorong, dan kabel-kabel khusus dalam kebudayaan kita; lorong kegelapan dan remang-remang, kabel-kabel kemunafikan dan kedustaan. Ironisnya para preman sangat menikmati pesta kegelapan dengan diiringi jeritan-jeritan nuraninya sendiri, sampai terkapar dalam jahanam kriminalnya yang paling mengerikan.

Tapi kita juga jangan terlena. Perang antarpreman terkadang juga menggunakan nama Tuhan untuk melegitimasi powernya. Maka, para preman merasa dapat angin neraka yang dihembuskan oleh tipudaya surga semunya. Saat ini kekuasaan Amerika Serikat sebagai dalang premanisme dunia justru sangat berambisi menciptakan peradaban preman di Irak.

Sayangnya aparat kepolisian kita selalu luluh untuk memberantas premanisme. Dar der dor, hanya preman kelas teri, yang ditembak. Apakah tindakan itu hanya untuk memuaskan "drama hukum" yang sudah mirip ketoprak humor? Kenapa bandot kelas kakapnya tak pernah diberangus? Atau memang ada drama baru, mcmbiarkan adanya premanisme sebagai komoditas bargaining psikologi dan politik? Wallahu A’lam. Aparat dan komandannya yang tahu.

Dalam aspek ketuhanan, premanisme sampai kiamat memang akan ada. Bahkan dunia ini akan berakhir dengan kondisi yang paling gelap, paling buruk, dimana premanisme menguasai seluruh urat nadi dunia, dengan kekafirannya, kemusyrikannya, kemunafikannya, sadismenya, dan dengan kanibalismenya. Itulah lembah setan di hari kiamat.

Allah menakdirkan manusia jadi preman, karena itu menyeleksi dan menguji hamba-hambanya yang beradab dan berperikemanusiaan. Jika Anda memilih jadi preman, maka Anda telah mendaftarkan diri sebagai sampah di neraka, sekaligus memilih menjadi “bukan manusia” dalam deretan makhluk Allah. Lebih tinggi binatang dan makhluk paling hina sekali pun di muka bumi ini. Kecuali Anda segera bertobat, kembali pada jalan lurus bercahaya. Jalan Allah.
Posted by QuranSains at 6:29 AM


Berharap Ganjaran Dengan Tidur


Di sebuah surau kecil di pesisir Kota Tuban, Jawa Timur. Saat para musafir lalu lalang melintas di jalan terdengar sayup-sayup suara merdu.

Tiga santri cilik mengumandangkan pujian-pujian. Sambil menunggu sholat tarawih di tegakkan, mereka berulang-ulang mengumandangkan pujian-pujian.

Kalau disimak baik-baik, suara yang terdengar masih cedal itu ternyata berisi keutamaan bulan suci Ramadhan.

Dengarlah pujian mereka; // turune wong kang poso iku ngibadah // menenge wong kang poso iku moco tasbih.. . //.

Bahasa pesisiran itu kalau diterjemahkan, kurang lebih bunyinya begini; // tidurnya orang yang sedang berpuasa itu ibadah. Diamnya orang berpuasa itu membaca tasbih... //

Entah mengerti atau tidak apa yang mereka kumandangkan, yang jelas santri-santri cilik itu rupanya hendak memberitahukan kepada kita yang belum mengerti, atau mengingatkan kita yang sudah mengerti tapi lupa, bahwa puasa Ramadhan itu sangat banyak fadhilah-nya.

Lewat pujian-pujian itu, mereka juga ingin menyampaikan kepada kita semua — kepada yang ingin memperbaiki kualitas puasa, atau kepada yang baru berniat akan puasa — bahwa di bulan puasa, Allah benar-benar mengobral ganjaran.

Allah memang punya malaikat yang memenuhi langit dan bumi ini. Setiap saat mereka selalu membaca tasbih. Allah juga memiliki nabi dan rasul yang bisa diharap syafaat-nya.

Allah juga punya kekasih yang kita sebut waliyullah. Tapi, semua itu tak berarti apa-apa di bulan suci ini, dibanding dengan ganjaran yang akan diberikan Allah kepada manusia. Karena ganjaran puasa ini, Allah sendiri yang menangani. Itulah janji Allah!

Jika yang maha Ghoni (kaya) dan yang maha Hamid (terpuji) sendiri berjanji akan membalas hamba-Nya yang berpuasa dengan ganjaran yang melimpah-limpah, maka jangan ada keraguan lagi. Mari berlomba-lomba mendatangi, mendekati, lalu memuji dzat yang maha menempati janji ini di bulan puasa.

Jika itu yang dilakukan, sudah pasti tidak ada dosa yang besar di bulan ini, tidak ada lagi kesemrawutan masalah di bumi ini, tak ada kegerahan, kepanasan, sekali pun matahari turun ke bumi.

Karena di bulan puasa ini, tangan kita mau menengadah, mata kita mau menangis, bibir kita mau basah dengan bacaan tasbih, hati kita mau merunduk, bertobat dan ber-istighfar kepada yang Maha Tartil dan Maha Pengampun.

Masya Allah! Bagaimana mungkin kita tidak memanfaatkan bulan penuh berkah ini. Apakah kita tidak malu dengan sindiran anak-anak pesisir di atas tadi?

Tidurnya orang puasa itu ibadah, diamnya orang berpuasa sama dengan membaca tasbih.

Tentu mereka benar. Tidurnya orang puasa adalah ibadah. Daripada ketika tidak tidur, mata ini diajak melihat-lihat maksiat, kaki ini diajak berbuat kejahatan, dan tangan ini dibuat mencuri, bahkan korupsi. Maka tidur bisa berarti ibadah.

Begitu juga diamnya orang puasa. Daripada banyak ngomong lalu menggunjing orang, keluar kata-kata kotor atau jijik, lebih baik diam.
Nah, tidur saja bisa bernilai ibadah. Diam bisa berarti membaca tasbih. Apalagi, kita benar-benar beribadah atau benar-benar membaca tasbih? Bagaimana piranti wadag manusia ini mulai dari kepala, tangan, kaki, bibir, hidung, dan lain-lain. Bersatu bersama piranti wujud beribadah kepada-Nya?

Maka pasti dialah orang yang beruntung itu. Orang yang akan menerima obral ganjaran langsung dari dzat yang maha tinggi, yaitu Allah.

Lalu teruskanlah menyimak pujian-pujian anak pesisir tadi, // Kang ngratoni, sekabehing poro ratu. Yoiku Alla asmane. Kang bakal paring piwales, sakabehing mong kang poso //

// Dialah ratu dari segala ratu, raja dari segala raja. Allah itulah sebutan-Nya. Yang akan membalas dan memberi ganjaran bagi orang-orang yang berpuasa //

Seperti kata Allah dalam hadits qudsi; "Segala amal perbuatan manusia adalah hak miliknya, kecuali puasa. Sebab puasa adalah bagi-Ku dan Akulah yang akan membalasnya sendiri."

Sudah siapkah kita menerima balasan dari-Nya ?
Posted by QuranSains at 6:21 AM

Ramadhan Seumur Hidup

Ada beberapa persoalan menarik untuk kita renungkan bersama. Kapankah kita ini hidup? Di manakah kita hidup? Sudahkah kita ini hidup? Tahukah kita kalau kita ini hidup?

Banyak jawaban yang selama ini saya terima jika mendapati pertanyaan-pertanyaan di atas. Di antaranya, saya hidup mulai usia 0 tahun, saya hidup di zaman yang serba kompetitif, saya tahu hidup dari nadi dan nafas saya yang terus bergerak ini, dan masih banyak lagi jawaban yang dikemukakan oleh ustadz-ustadz atau murid-murid saya sewaktu mondok di desa dulu.

Benarkah itu semua? Jawaban atas pertanyaan tersebut ,semua benar. Dan memang, jawaban itu tidak ada yang perlu atau pernah disalahkan. Apalagi ada nilai nominalnya. Misalnya skor 7, 8, atau bahkan 10. Karena jawaban untuk pertanyaan itu memang bukan angka-angka, tapi sebuah keyakinan.

Namun alangkah baiknya jika sesekali kita masuk dalam wilayah filosofi yang terdalam dalam perjalana hidup ini. Hidup adalah perjalanan waktu yang sangat cepat. Saking cepatnya sehingga manusia tidak merasakan kalau sebenarnya dan seharusnya manusia harus bersyukur kalau kita sudah hidup.

Jadi filosofinya, hidup adalah perjalanan di atas waktu detik berganti menit, menit berganti jam, jam bergabung jadi satu hingga terbentuklah hari, hari jadi minggu, bulan, tahun, dan seterusnya. Manusia hidup berjalan di atas waktu-waktu itu. Begitu cepatnya, sehingga manusia tidak merasakan kecepatan itu. Tahu-tahu sudah berubah rambut, wajah, body, dan bagian-bagian panca indera kita.

Makna filosofinya, manusia berdiri pada satuan-satuan waktu. Satuan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, windu, dasawarsa, bahkan abad. Manusia berdiri di sana. Manusia juga menjalankan keseharian di satuan-satuan itu.

Tak hanya manusia yang berjalan pada satuan-satuan waktu untuk hidup. Ibadah kita juga diukur dari satuan-satuan. Sholat misalnya, ukurannya juga satuan. Salat wajib dilakukan lima kali sehari, sholat tarawih ada yang 8, 20, 36 rakaat, Idul Fitri dan Idul Adha setahun sekali, dan lain sebagainya.

Karena berupa satuan itulah, maka sholat kita sebenarnya menjadi titik awal dari "puasa". Yakni "puasa" dari kesibukan-kesibukan, "puasa" dari kepenatan hidup yang terus diburu oleh waktu dan nafsu.

Dengan sholat, manusia akan sedikit terlepas dari rasionalitas hidup dengan mendahului sahur syahadat dan buka sholawat. Karenanya, kalau kita sangat yakin, dengan salat yang dipenuhi ketaqwaan dan cinta kasih pada Allah, maka Idul Fitri (kembali kepada kesucian diri) akan dengan mudah kita terima.
Puasa Ramadan adalah bentuk dari "salat" kita yang lebih dahsyat, lebih punya makna yang luar biasa pada diri kita, lebih sedikit "memaksa" kita untuk berbuat agar lebih "tidak enak" lagi hidup. Sebulan penuh kita akan menikmati sebuah pengalaman rohani yang benar-benar akan membawa pada Idul Fitri yang luar biasa. Bahkan kalau kita bisa lulus, kefitrian kita bisa diibaratkan seperti bayi yang baru lahir. Masya Allah, luar biasa kemurahan gusti Allah.

Untuk bisa menuju pada "salat" - jika kita tetap sedikit memberi ruang pikiran kita berimprovisasi - yang benar-benar menuntut pada kefitrian sejati, self protection kita harus benar-benar dipersiapkan. Terutama soal kesejatian puasa kita.

Misalnya, jika kita bisa makan dengan hanya satu roti, mengapa kita harus bernafsu makan dua, tiga, empat bahkan lima iris roti. Begitu juga jika kita mengartifisialkan irisan roti itu dengan kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain sebagainya. Maka kesejatian puasa kita selama Ramadan ini akan sia-sia saja.

Namun sebaliknya, jika artifisialisasi di atas mampu kita amanahkan pada hati ini untuk sedikit menahan, maka kapanpun kita akan mampu ber-Ramadan dengan baik. Bukan hanya di bulan Ramadan ini saja, tapi seumur hidup kita akan merasakan ke-Ramadanan ini.

Dan hasil yang akan didapat adalah Idul Fitri. Baik Idul Fitri yang besar maupun Idul Fitri kecil-kecil Semuanya akan kita miliki. Dan semuanya untuk diri kita sendiri. Nah, jika semuanya dilakukan, alangkah nikmatnya hidup ini jika kita mampu melaksanakan dengan penuh kecintaan dan ketakwaan. Allabu Akbar

2 comments: